Senin, 29 November 2010

ANJURAN UNTUK BEKERJA

Bekerja merupakan anjuran bagi setiap muslim. Dan bagi setiap muslim yang telah diberikan kesehatan oleh Allah Swt, alangkah baiknya kita gunakan nikmat itu dengan sebaik-baiknya, yaitu untuk beribadah kapada Allah Swt dan bekerja demi memenuhi kebutuhan kita sehari-harinya. Janganlah kita diberi kesehatan yang penuh oleh Allah Swt, akan tetapi kita bermalas-malasan dalam melakukan aktifitas kita sehari-harinya. Dan bahkan kadang ada sebagian manusia yang meminta-minta, padahal secara fisik mereka mampu melakukan pekerjaan yang bisa mendatangkan rizki baginya. Padahal rosululloh Saw bersabda: “Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata: Rasulullah Saw bersabda: Sungguh, seandainya salah seorang di antara kalian mencari kayu bakar dan memikul ikatan kayu itu, maka itu lebih baik, daripada ia meminta-minta kepada seseorang, baik orang itu memberinya ataupun tidak.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Bekerja merupakan suatu hal yang mulia dan di anjurkan dalam ajaran Islam. Rasulullah Saw memberikan pelajaran menarik tentang pentingnya bekerja. Dalam Islam bekerja bukan sekadar memenuhi kebutuhan perut, tapi juga untuk memelihara harga diri dan martabat kemanusiaan yang seharusnya dijunjung tinggi. Karenanya, bekerja dalam Islam menempati posisi yang teramat mulia. Islam sangat menghargai orang yang bekerja dengan tangannya sendiri. Sebagaimana sabda Nabi: “Rasulullah saw pernah ditanya, Pekerjaan apakah yang paling baik? Beliau menjawab, Pekerjaan terbaik adalah usaha seseorang dengan tangannya sendiri dan semua perjualbelian yang dianggap baik,” (HR Ahmad dan Baihaqi).
Maka dari itulah, alangkah baiknya kita mempunyai semangat yang tinggi dan mempraktekkan dalam keseharian kita, melakukan pekerjaan yang bisa mendatangkan nafkah bagi kita dengan rasa yang ikhlas dan mengharap ridha dari Allah Swt, apapun pekerjaan kita yang penting kerjaan itu halal, dan kita harus senang dan cinta dengan pekerjaan yang kita kerjakan. Janganlah keluh kesah dengan pekerjaan itu, meskipun pekerjaan berat bagi kiata. yang  Ada sebuah kata bijak: “Nilai seseorang itu ditentukan dari keberaniannya memikul tanggung jawab, mencintai hidup dan pekerjaannya.” (Kahlil Gibran). Dan Bekerja dengan rasa cinta berarti melebur diri dengan jiwa sendiri,diri orang lain juga Tuhan. (Kahlil Gibran).
Dan kita selalu berdo’a kepada Allah Swt agar terhindar dari sifat-sifat malas, Sebagaimana Rosululloh Saw berdo’a: Dari Anas ra. Ia berkata, Rosulullah SAW. Bersabda : “wahai Allah aku berlindung kepada-Mu dari sifat lemah, malas, dan penakut. Dan aku berlindung kepada Mu dari siksa kubur, ujian hidup dan ujian mati. “(HR. Muslim).
Dikala kita bekerja atau melakukan aktifitas, kita berdoa seperti yang dicontohkan rosululloh Saw diatas, yaitu berdo’a kepada Allah Swt, meminta dijauhkan dari sifat-sifat, seperti: malas, lemah, penakut dan lain sebagainya. Maka dengan itu, kita harus mempunyai semangat yang tinggi dan tidak pasrah begitu saja. Dengan berdo’a dijauhkan dari sifat tersebut,, berarti kita hurus berupaya untuk menjadi orang yang kuat, baik jasmani maupun rohani. Dengan meminta dijauhkan dari sifat malas berarti kita harus berupaya menjadi orang yang rajin bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup sehingga tercapai kesejahtaraan di dunia dan akhirat. Dan dengan meminta dijauhkan dari sifat penakut berarti kita harus berupaya untuk menjadi orang yang berani dalam menjalani hidup ini, karena kita yakin bahwa Allah Swt selalu menolong hamba yang berada dijalan-Nya.
Seorang yang telah bekerja dan bersungguh-sungguh dalam pekerjaannya akan bertambah martabat dan kemuliannya. Sebaliknya, orang yang tidak bekerja alias menganggur, selain kehilangan martabat dan harga diri di hadapan dirinya sendiri, juga di hadapan orang lain. Jatuhnya harkat dan harga diri akan menjerumuskan manusia pada perbuatan hina. Tindakan mengemis, merupakan kehinaan, baik di sisi manusia maupun di sisi Allah Swt.
Nabi Muhammad Saw serta para sahabat pekerja keras. Bahkan beberapa sahabat merupakan saudagar kaya yang kerap kali memberikan hartanya untuk membiayai pasukan Islam tatkala harus bertempur dengan musuh-musuh Islam.
Bekerja dalam Islam akan mendapatkan pahala, kenapa? Jawabannya sederhana, karena bekerja dalam konsep Islam merupakan kewajiban atau fardhu. Dalam kaidah fiqh, orang yang menjalankan kewajiban akan mendapatkan pahala, sedangkan mereka yang meninggalkannya akan terkena sanksi dosa. Tentang kewajiban bekerja, Rasulullah bersabda, Mencari rezeki yang halal itu wajib sesudah menunaikan yang fardhu (seperti shalat, puasa dan sebagainya), (HR ath-Thabrani dan al-Baihaqi)
Karena bekerja merupakan kewajiban, maka tak heran jika Umar bin Khaththab pernah menghalau orang yang berada di masjid agar keluar untuk mencari nafkah. Umar tak suka melihat orang yang pada siang hari tetap asyik duduk di masjid, sementara sang mentari sudah terpancar bersinar.

TAWAKAL


Dalam kehidupan, kadang kita merasa bahagia dan kadang merasa sedih. Inilah kehidupan yang pasti dialami setiap manusia. Setiap kondisi dan situasi akan mempengaruhi dalam kehidupan kita. Dikala hati sedang bimbang, terasa hidup kita sangatlah mengasyikkan dan sangatlah berarti, dan sebaliknya dikala hati sedang gundah kehidupan kita seolah tak berarti lagi. Setiap manusia akan diuji oleh Allah Swt sesuai dengan keimanan  kita, karena Allah Swt adalah Tuhan yang adil dan Maha sempurana. Kita di uji atau diberi cobaan oleh Allah Swt adalah intinya untuk membersihkan pada diri kita, agar kita bersih dari dosa yang telah kita perbuat. Sebagaimana Rosululloh Saw bersabda: Dari Sa’ad, ia berkata: bahwa Rasulullah telah bersabda: “Manusia yang paling berat ujiannya adalah para Nabi, kemudian orang-orang shalih yang meneladaninya. Seseorang akan diuji menurut kekuatan agamanya (imannya), apabila agamanya kuat maka makin berat ujiannya, apabila agamanya kurang kuat maka dia diuji menurut kadar kekuatannya, dia akan diuji terus, sehingga ia berjalan di muka bumi dalam keadaan bersih (tidak berdosa)”.
Kita sebagai manusia harus berprasangka baik kepada Allah Swt, disaat kita berdoa dengan meyakini Allah pasti mengabulkan do'a kita. Karena Allah Swt mengabulkan do'a seorang muslim yang sudah berusaha bekerja dan melakukan perintah Allah Swt dengan sebaik-baiknya (takwa). Do'a itu bisa diberikan langsung, ditunda, diganti yang lebih baik untuk kita, atau juga diberikan saat di akhirat untuk mempermudah jalan kita untuk ke surga. Bila ingin dipermudah urusan kita di dunia dan akhirat, bantulah mempermudah urusan seorang muslim yang sedang dalam kesulitan di dunia.
Kita hidup harus menggantungkan urusan kehidupan kita pada Allah Swt setelah kita berikhtiar (arti tawakal). Orang yang bertawakal, harus mengembalikan masalah yang dihadapinya kepada Allah setelah benar-benar berikhtiar. Ia berpasrah diri karena memang tidak ada lagi yang dapat dilakukan, kecuali tergantung kepada Allah. Apapun hasil dari apa yang diikhtiarkan, akan diterimanya dengan sikap tawakal. Orang mukmin, baik laki-laki maupun perempuan yang benar-benar tawakal kepada Allah tentu akan berusaha senantiasa bersikap atau berprilaku takwa. Tentu apabila ketakwaannya itu terus dipelihara dan dilaksanakan secara konsisten, Allah akan memberikan jalan keluar dan mencukupkan keperluannya.Tentu apabila ketakwaannya itu terus dipelihara dan dilaksanakan secara konsisten, Allah akan memberikan jalan keluar dan mencukupkan keperluannya. Karena Allah Swt Berfirman dalam Al-Qur’an, yang Artinya: "Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat. Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu." (QS Ath Thalaaq[65] : 2-3). Dan rosululloh Saw bersabda: "Sekiranya kalian benar-benar bertawakal kepada Allah Swt dengan tawakal yang sebenar-benarnya, sungguh kalian akan diberi rizki (oleh Allah Swt), sebagaimana seekor burung diberi rizki; dimana ia pergi pada pagi hari dalam keadaan lapar, dan pulang di sore hari dalam keadaan kenyang." (HR. Ahmad, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, Al-Hakim).



Minggu, 28 November 2010

ADIL GAK HARUS SAMA

Begitu kamu-kamu baca judul itu, pasti beragam ekspresi muncul. Mulai dari yang bener-bener ngeh, sedikit bingung tapi sambil manggut-manggut, sampai yang blank sama sekali meski jari telunjuk udah nangkring di kepala (duh, segitunya). Tenang aja gals, di CB edisi ini, kita bakalan kasih bahasan yang ok banget, makanya lanjuuuut…
Seringkali ketika kita ngomongin soal keadilan, pasti dalam benak kita cuman pembagian yang sama rata. Ibaratnya, kalo ortu kita baru pulang kondangan trus bawa dua kue yang harus dibagi bertiga ama sodara-sodara kita, biasanya masing-masing kue bakal dibagi jadi sepertiga, biar semua bisa ngerasain dengan adil, tul ga? Klo untuk urusan itu, mungkin kamu-kamu semua setuju. Tapi untuk kasus berbeda, prinsip itu ternyata ga berlaku. For example, kalo kamu yang udah kuliah disamain uang sakunya sama adek kamu yang baru masuk playgroup, masing-masing diberi selembaran uang bergambar imam bonjol. Dijamin, meski bukan pendekar, beragam jurus bakal kamu keluarin sebagai bentuk protes karena kamu merasa ortu ga adil. Betul apa bener??
Ngomongin soal kesamarataan, tau ga sih, kalo tema ini juga sedang gencar diopinikan oleh kaum feminis. Pastinya mereka bukan mo ngebahas soal pembagian kue yang sama rata antara kamu n sodara-sodara kamu, tapi mereka pengen agar kesamaan gender mewarnai kehidupan kita. Para pengusung ide gender itu beranggapan bahwa wanita dijajah pria sejak dulu (keroncong abiz nih ye…!) dan permasalahan yang terjadi pada kaum perempuan adalah akibat mereka dijadikan “kelas kedua”. So, menurut kacamata mereka, yang namanya perkosaan, trafficking (penjualan perempuan), kekerasan dalam rumah tangga, dan kawan-kawan, semata-mata terjadi karena generasi kartini dimarginalkan, dipinggirkan, direndahkan pokoknya melaaaaazz deh. Nah, karena pandangan itulah mereka rela capek-capek, mendaki gunung, menyebrang lautan, menerjang badai (hiperbola banget ya!) biar perempuan setara dengan laki-laki. Kalo kaum adam bisa jadi presiden, kaum hawa ga boleh kalah. Kalo petinju biasanya cowok, cewek jangan sampe ketinggalan. Sekalian kalo tukang becak selama ini didominasi pria, sekarang perempuan harus bisa narik becak (capek, deh…). Padahal apa iya solusi yang mereka tawarkan bener-bener bisa memecahkan persoalan perempuan? Ato jangan-jangan ide dan aktifitas mereka justru menimbulkan masalah baru?(Nah lho!!)
Sobat, dalam memandang masalah ini, kita emang wajib menggunakan akal sehat, pikiran jernih dan hati yang bening. Sebenernya masalah yang terjadi pada kaum perempuan ini, bukan semata-mata persoalan perempuan. Tapi ini juga persoalan laki-laki ato manusia secara umum. Coba deh kita kasih sedikit analisa dan buktinya. Pada kasus seorang hawa yang diperkosa, pasti banyak sekali faktor yang melatarbelakangi. Bisa jadi dia diperkosa karena pelakunya keseringan nonton vcd porno. Kamu pasti tau dong, dengan modal uang dan iman yang cekak, siapapun bisa ngedapetin plus menikmati vcd porno. Trus nafsunya terbangkitkan dengan “sukses”, sementara dia ga punya istri, maka terjadilah. Ato si perempuan mengenakan pakaian minimalis trus keluyuran malem-malem. Dia terbiasa bergaul bebas, dugem, sekaligus berpakaian “mengundang” biar ga ketinggalan tren yang penuh dengan aroma kebebasan. Kalo udah kayak gini, jelas ini bukan persoalan perempuan, tapi persoalan semua manusia, coba pemerintah lebih tegas melarang peredaran pornografi, coba kalo pergaulan bebas tidak dibiarkan merajalela pasti perkosaan ga akan terjadi, sepakat dong?!
Lagian ketika Alloh menciptakan manusia menjadi laki-laki dan perempuan, semua itu bukan asal, tapi pasti ada maksudnya. Sebagaimana firman Alloh, “Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah.”(QS. Adz- Dzariyat: 49). Sama sekali Allah ga bermaksud untuk menjadikan perempuan sebagai manusia ke dua, apalagi mendiskriminasikan kaum hawa dan meninggikan kaum adam, tidak!. Tapi semata-mata agar kita semua mengingat kebesaranNya. Kebayang ga sih kalo di dunia ini semuuaaaaaaa cewek ato cuman ada cowooooook mulu, pasti boring banget kan. Makanya jangan buru-buru menelan ide gender mentah-mentah apalagi sampe ikut memperjuangkannya tanpa kita melihat masalah ini secara lebih mendalam.
Sebagai dien yang sempurna, Islam memandang kalo perempuan dan laki-laki adalah sama dari sisi manusia. Laki-laki dikarunia seperangkat potensi berupa akal, naluri dan kebutuhan jasmani, maka begitulah pula perempuan. Oleh karena itu, Allah memberikan hak dan kewajiban yang sama antara keduanya. Perempuan diperintahkan sholat, puasa, berdakwah, dan sebagainya, laki-laki juga diwajibkan hal yang sama. Tapi adakalanya Islam menetapkan hak dan kewajiban yang berbeda terkait kekhususan yang dimiliki oleh keduanya, baik dari sisi fisik maupun psikis. Wanita diberi tanggung jawab utama di ranah domestik sebagai ibu dan pengatur rumah tangga sedangkan pria diberi beban sebagai kepala rumah tangga yang bertugas melindungi dan memenuhi sektor domestik. Pembedaan itu bukanlah bentuk diskriminasi Islam pada perempuan. Tapi Allah menetapkannya tidak lain karena fitrah mereka masing-masing dan demi kemaslahatan manusia. Karena Alloh berfirman dalam QS. Al-Hujurat: 13, “Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kalian di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa.” So, bukan kelaki-lakian atau keperempuanan seseorang yang menjadikannya mulia, tapi only bin cuman ketakwaan saja. Kalo seorang pria mampu menjadi seorang pemimpin rumah tangga yang mengarahkan seluruh isi rumahnya menuju ridho dan surga-Nya, maka dia akan sama mulianya dengan seorang perempuan yang semaksimal mungkin membereskan rumah, mendidik dan menyayangi anak-anaknya semata ikhlas karena Allah.
Islam menjadikan perempuan menjadi mitra kaum adam, bukan saingan apalagi musuh. Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya kaum perempuan adalah mitra kaum laki-laki.” (HR. Abu Dawud dan An-Nasa’i). Beragam persoalan yang muncul sebenarnya karena sistem kapitalisme sekuler yang masih dipeluk erat dalam kehidupan kita. Pornografi dan pornoaksi masih tersebar bebas, karena sebagian menganggap hal itu menguntungkan secara materi. Begitu juga masalah pergaulan bebas, kemiskinan (yang menjadi motif trafficking), kekerasan, dan masih banyak lagi, semuanya akan terus mendera selama kita belum sadar dan segera memperbaikinya. Makanya, sebagai mitra, tugas ini juga wajib diemban oleh pria juga wanita. Bersama-sama mbangunin umat dari tidurnya, untuk kembali pada petunjuk-Nya (Islam) yang mampu menjadi problem solver segala permasalahan.

Jadi, sama gak selalu adil kan?

BERSYUKUR



Allah Swt berfirman dalam Al-Qur’an, yang artinya:
Mereka (Para Jin) bekerja untuk Sulaiman sesuai dengan apa yang dikehendakinya, di antaranya (membuat) gedung-gedung yang tinggi, patung-patung, piring-piring yang (besarnya) seperti kolam dan periuk-periuk yang tetap (berada di atas tungku). Bekerjalah wahai keluarga Daud untuk bersyukur kepada Allah. Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur”. (Saba’:13)
Ayat ini mengabadikan anugerah nikmat yang tiada terhingga kepada keluarga nabi Daud as sebagai perkenan atas permohonan mereka melalui lisan nabi Sulaiman as yang tertuang dalam surah Shaad: 35, “Ia berkata, “Ya Tuhanku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki oleh seorang juapun sesudahku, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Pemberi”. Betapa nikmat yang begitu banyak ini menuntut sikap syukur yang totalitas yang dijabarkan dalam bentuk amal nyata sehari-hari.
Tampilnya keluarga Daud sebagai teladan dalam konteks bersyukur dalam ayat ini memang sangat tepat, karena dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, Rasulullah Saw bersabda yang artinya:
“Shalat yang paling dicintai oleh Allah adalah shalat nabi Daud; ia tidur setengah malam, kemudian bangun sepertiganya dan tidur seperenam malam. Puasa yang paling dicintai oleh Allah juga adalah puasa Daud; ia puasa sehari, kemudian ia berbuka di hari berikutnya, dan begitu seterusnya”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Bahkan dalam riwayat Ibnu Abi Hatim dari Tsabit Al-Bunani dijelaskan bagaimana nabi Daud membagi waktu shalat kepada istri, anak dan seluruh keluarganya sehingga tidak ada sedikit waktupun, baik siang maupun malam, kecuali ada salah seorang dari mereka sedang menjalankan shalat. Dalam riwayat lain yang dinyatakan oleh Al-Fudhail bin Iyadh bahwa nabi Daud pernah mengadu kepada Allah ketika ayat ini turun. Ia bertanya: “Bagaimana aku mampu bersyukur kepada Engkau, sedangkan bersyukur itupun nikmat dari Engkau?
Allah Swt berfirman, “Sekarang engkau telah bersyukur kepada-Ku, karena engkau mengakui nikmat itu berasal daripada-Ku”.
Keteladanan Nabi Daud as yang disebut sebagai objek perintah dalam ayat perintah bersyukur di atas, ternyata diabadikan juga dalam beberapa hadits yang menyebut tentang keutamaan bekerja. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Rasulullah Saw bersabda, “Tidaklah seseorang itu makan makanan lebih baik dari hasil kerja tangannya sendiri. Karena sesungguhnya nabi Daud as senantiasa makan dari hasil kerja tangannya sendiri.” (HR. Bukhari).
Bekerja yang dilakukan oleh Nabi Daud as tentunya bukan atas dasar tuntutan atau desakan kebutuhan hidup, karena ia seorang Raja yang sudah tercukupi kebutuhannya, namun ia memilih sesuatu yang utama sebagai perwujudan rasa syukurnya yang tiada terhingga kepada Allah Swt.
Secara redaksional, yang menarik karena berbeda dengan ayat-ayat yang lainnya adalah bahwa perintah bersyukur dalam ayat ini tidak dengan perintah langsung “Bersyukurlah kepada Allah”, tetapi disertai dengan petunjuk Allah Swt dalam mensyukuri-Nya, yaitu “Bekerjalah untuk bersyukur kepada Allah”. Padahal dalam beberapa ayat yang lain, perintah bersyukur itu langsung Allah sebutkan dengan redaksi fi’il Amr, seperti dalam firman Allah yang bermaksud, Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)Ku”. (Al-Baqarah: 152). Dan Juga Allah Swt Berfirman, yang artinya: “Karena itu, maka hendaklah Allah saja kamu sembah dan hendaklah kamu termasuk orang-orang yang bersyukur”.(Surat Adz-Dzumar: 66).
Redaksi seperti dalam ayat di atas menunjukkan bahwa esensi bersyukur ada pada perbuatan dan tindakan nyata sehari-hari. Dalam hal ini, Ibnul Qayyim merumuskan tiga faktor yang harus ada dalam konteks bersyukur yang sungguh-sungguh, yaitu:
a.       Dengan lisan, dalam bentuk pengakuan dan pujian
b.      Dengan hati, dalam bentuk kesaksian dan kecintaan
c.       Dengan seluruh anggota tubuh, dalam bentuk amal perbuatan.
Sehingga bentuk implementasi dari rasa bersyukur bisa beragam; shalat seseorang merupakan bukti bersyukurnya, puasa dan zakat seseorang juga bukti akan bersyukurnya, segala kebaikan yang dilakukan karena Allah Swt adalah implementasi bersyukur. Intinya, bersyukur adalah takwa kepada Allah dan amal shaleh seperti yang disimpulkan oleh Muhammad bin Ka’ab Al-Quradhi.
Az-Zamakhsyari memberikan penafsirannya atas petikan Ayat, “Bekerjalah wahai keluarga Daud untuk bersyukur kepada Allah” bahwa ayat ini memerintahkan untuk senantiasa bekerja dan mengabdi kepada Allah swt dengan semangat motifasi mensyukuri atas segala karunia nikmat-Nya. Ayat ini juga menjadi argumentasi yang kuat bahwa ibadah hendaklah dijalankan dalam rangka mensyukuri Allah swt.
Makna inilah yang difahami oleh Rasulullah Saw ketika Aisyah mendapati beliau senantiasa melaksanakan shalat malam tanpa henti, bahkan seakan-akan memaksa diri hingga kakinya bengkak-bengkak. Saat ditanya oleh Aisyah, “Kenapa engkau berbuat seperti ini? Bukankah Allah Swt telah menjamin untuk mengampuni segala dosa-dosamu?” Rasulullah Saw menjawab, “Tidakkah (jika demikian) aku menjadi hamba Allah yang bersyukur”. (HR. Al-Bukhari).
Pemahaman Rasulullah Saw akan perintah bersyukur yang tersebut dalam ayat ini disampaikan kepada sahabat Mu’adz bin Jabal ra dalam bentuk pesannya setiap selesai sholat, “Hai Muaz, sungguh aku sangat mencintaimu. Janganlah engkau tinggalkan setiap selesai sholat untuk membaca do’a, “Ya Allah, tolonglah aku untuk senantiasa berzikir (mengingatiMu), mensyukuri (segala nikmat)Mu, dan beribadah dengan baik”. (HR. Abu Daud dan Nasa’i).
Dalam pandangan Sayid Qutb, penutup ayat di atas “Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur” merupakan sebuah pernyataan akan kelalaian hamba Allah Swt dalam mensyukuri nikmat-Nya, meskipun mereka berusaha dengan semaksimal mungkin, tetapi tetap saja mereka tidak akan mampu menandingi nikmat Allah Swt yang dikaruniakan terhadap mereka yang tidak terbilang. Sehingga sangat ironis dan merupakan peringatan bagi mereka yang tidak mensyukurinya sama sekali. Dalam hal ini, Umar bin Khattab ra pernah mendengar seseorang berdo’a, “Ya Allah, jadikanlah aku termasuk golongan yang sedikit”. Mendengar itu, Umar terkejut dan bertanya, “Kenapa engkau berdoa demikian?” Sahabat itu menjawab, “Karena saya mendengar Allah Swt berfirman, “Dan sedikit sekali dari hamba-hambaKu yang bersyukur”, makanya aku memohon agar aku termasuk yang sedikit tersebut.
Ciri lain seorang hamba yang bersyukur secara korelatif dapat ditemukan dalam ayat setelahnya bahwa ia senantiasa memandang segala jenis nikmat yang terbentang di alam semesta ini sebagai bahan perenungan akan kekuasaan Allah Swt yang tidak terhingga, sehingga hal ini akan menambah rasa syukurnya kepada Dzat Yang Maha Kuasa. Allah Swt berfirman diantaranya, “Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi setiap orang yang sabar lagi bersyukur”. (Saba’:19).
Memang komitmen dengan akhlaqul Qur’an, di antaranya bersyukur merupakan satu tuntutan sekaligus kebutuhan di tengah banyaknya cobaan yang menerpa bangsa ini dalam beragam bentuknya. Jika segala karunia Allah Swt yang terbentang luas dimanfaatkan dengan baik untuk kebaikan bersama dengan senantiasa mengacu kepada aturan Allah Swt, Sang Pemilik Tunggal, maka tidak mustahil, Allah Swt akan menurunkan rahmat dan kebaikan-Nya untuk bangsa ini dan menjauhkannya dari malapetaka, karena demikianlah balasan yang tertinggi yang disediakan oleh Allah Swt bagi komunitas dan umat yang senantiasa mampu mensyukuri segala bentuk nikmat Allah Swt:
Mengapa Allah akan menyiksamu, jika kamu bersyukur dan beriman? Dan Allah adalah Maha Mensyukuri lagi Maha Mengetahui”. (An-Nisa’:147)
Wallahu a’lam!!!!

MAKNA DAN HAKIKAT TAWAKAL

MAKNA DAN HAKIKAT TAWAKAL
Dari segi bahasa, tawakal berasal dari kata tawakala yang memiliki arti; menyerahkan, mempercayakan dan mewakilkan. (Munawir, 1984 : 1687). Seseorang yang bertawakal adalah seseorang yang menyerahkan, mempercayakan dan mewakilkan segala urusannya hanya kepada Allah swt.
Sedangkan dari segi istilahnya, tawakal didefinisikan oleh beberapa ulama salaf, yang sesungguhnya memiliki muara yang sama. Di antara definisi mereka adalah:
a.      Menurut Imam Ahmad bin Hambal.
Tawakal merupakan aktivitas hati, artinya tawakal itu merupakan perbuatan yang dilakukan oleh hati, bukan sesuatu yang diucapkan oleh lisan, bukan pula sesuatu yang dilakukan oleh anggota tubuh. Dan tawakal juga bukan merupakan sebuah keilmuan dan pengetahuan. (Al-Jauzi/ Tahdzib Madarijis Salikin, tt: 337)
b.      Ibnu Qoyim al-Jauzi
“Tawakal merupakan amalan dan ubudiyah (baca; penghambaan) hati dengan menyandarkan segala sesuatu hanya kepada Allah, tsiqah terhadap-Nya, berlindung hanya kepada-Nya dan ridha atas sesuatu yang menimpa dirinya, berdasarkan keyakinan bahwa Allah akan memberikannya segala ‘kecukupan’ bagi dirinya…, dengan tetap melaksanakan ‘sebab-sebab’ serta usaha keras untuk dapat memperolehnya.” (Al-Jauzi/ Arruh fi Kalam ala Arwahil Amwat wal Ahya’ bidalail minal Kitab was Sunnah, 1975 : 254)
Sebagian ulama salafuna shaleh lainnya memberikan komentar beragam mengenai pernak pernik takawal, diantaranya adalah ungkapan: Jika dikatakan bahwa Dinul Islam secara umum meliputi dua aspek; yaitu al-isti’anah (meminta pertolongan Allah) dan al-inabah (taubat kepada Allah), maka tawakal merupakan setengah dari komponen Dinul Islam. Karena tawakal merupakan repleksi dari al-isti’anah (meminta pertolongan hanya kepada Allah swt.): Seseorang yang hanya meminta pertolongan dan perlindungan kepada Allah, menyandarkan dirinya hanya kepada-Nya, maka pada hakekatnya ia bertawakal kepada Allah.
Salafus saleh lainnya, Sahl bin Abdillah al-Tasattiri juga mengemukakan bahwa ‘ilmu merupakan jalan menuju penghambaan kepada Allah. Penghambaan merupakan jalan menuju kewara’an (sifat menjauhkan diri dari segala kemaksiatan). Kewaraan merupakan jalan menuju kezuhudan. Dan kezuhudan merupakan jalan menuju ketawakalan. (Al-Jauzi, tt : 336)
Tawakal sangat diperhatikan dalam Islam. Oleh karena itulah, banyak sekali ayat-ayat ataupun hadits-hadits yang memiliki muatan mengenai tawakal kepada Allah swt. Demikian juga para salafus shaleh, juga sangat memperhatikan masalah ini. Sehingga mereka memiliki ungkapan-ungkapan khusus mengenai tawakal.
DERAJAT TAWAKAL
Tawakal merupakan gabungan berbagai unsur yang menjadi satu, dimana tawakal tidak dapat terealisasikan tanpa adanya unsur-unsur tersebut. Unsur-unsur ini juga merupakan derajat dari tawakal itu sendiri:
1.      Ma’rifat kepada Allah Swt. dengan segala sifat-sifat-Nya minimal meliputi tentang
kekuasaan-Nya keagungan-Nya, keluasan ilmu-Nya, keluasan kekayaan-Nya, bahwa segala urusan akan kembali pada-Nya, dan segala sesuatu terjadi karena kehendak-Nya, dsb.
2.      Memiliki keyakinan akan keharusan melakukan usaha. Karena siapa yang menafikan
keharusan adanya usaha, maka tawakalnya tidak benar sama sekali. Seperti seseorang yang ingin pergi haji, kemudian dia hanya duduk di rumahnya, maka sampai kapanpun ia tidak akan pernah sampai ke Mekah. Namun hendaknya ia memulai dengan menabung, kemudian pergi kesana dengan kendaraan yang dapat menyampaikannya ke tujuannya tersebut.
3.      Adanya ketetapan hati dalam mentauhidkan (mengesakan) Dzat yang ditawakali, yaitu Allah Swt. Karena tawakal memang harus disertai dengan keyakinan akan ketauhidan Allah. Jika hati memiliki ikatan kesyirikan dengan sesuatu selain Allah, maka batallah ketawakalannya.
4.      Menyandarkan hati sepenuhnya hanya kepada Allah swt., dan menjadikan situasi bahwa hati yang tenang hanyalah ketika mengingatkan diri kepada-Nya. Hal ini seperti kondisi seorang bayi, yang hanya bisa tenang dan tentram bila berada di susuan ibunya. Demikian juga seorang hamba yang bertawakal, dia hanya akan bisa tenang dan tentram jika berada di ‘susuan’ Allah swt.
5.      Husnudzan (baca: berbaik sangka) terhadap Allah swt. Karena tidak mungkin seseorang bertawakal terhadap sesuatu yang dia bersu’udzan kepadanya. Tawakal hanya dapat dilakukan terhadap sesuatu yang dihusndzani dan yang diharapkannya.
6.      Memasrahkan jiwa sepenuhya hanya kepada Allah swt. Karena orang yang bertawakal harus sepenuh hatinya menyerahkan segala sesuatu terhadap yang ditawakali. Tawakal tidak akan mungkin terjadi, jika tidak dengan sepenuh hati memasrahkan hatinya kepada Allah.
7.      Menyerahkan, mewakilkan, mengharapkan, dan memasrahkan segala sesuatu hanya kepada Allah swt. Dan hal inilah yang merupakan hakekat dari tawakal. (Ghaafir : 44)
TAWAKAL DALAM AL-QUR’AN
Al-Qur’an sangat menaruh perhatian terhadap permasalahan tawakal ini. Kita mendapatkan bahwa setidaknya terdapat 70 kali, kata tawakal disebut oleh Allah dalam Al-Qur’an. Jika disimpulkan ayat-ayat tersebut mencakup tema berikut:
1. Tawakal merupakan perintah Allah swt.
“Dan bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Al-Anfal: 61). Lihat juga Ar-Ra’d: 123; Al-Furqaan: 58, Asy-Syu’araa: 217, An-Naml: 79, Al-Ahzab: 3 dan 48.
2. Larangan bertawakal selain kepada Allah (menjadikan selain Allah sebagai penolong) (Al-Isra: 2)
3. Orang yang beriman; hanya kepada Allah lah ia bertawakal (Ali Imran: 122). Lihat juga Ali Imran: 160, Al-Maidah: 11 dan 23, Al-A’raf: 89, Al-Anfal: 2, At-Taubah: 51, Al-Mujaadilah: 10, At-Taghabun: 13.
4. Tawakal harus senantiasa mengiringi suatu azam (baca: keingingan/ambisi positif yang kuat) (Ali Imran: 159)
5. Allah sebaik-baik tempat untuk menggantungkan tawakal (pelindung) (Ali Imran: 173). Lihat juga An-Nisa: 81, 109, 132, dan 171.
6. Akan mendapatkan perlindungan, pertolongan dan anugerah dari Allah (Al-Anfal: 49). Lihat juga Al-Isra: 65.
7. Mendapatkan kebaikan di dunia dan di akhirat (surga) (An-Nahl: 41-42). Lihat juga Al-Ankabut: 58-59.
8. Allah akan mencukupkan orang yang bertawakal kepada-Nya. (Ath-Thalaaq: 3)

TAWAKAL DALAM HADITS
Selain dalam Al-Qur’an, dalam hadits pun, tawakal memiliki porsi yang sangat banyak. Dalam kitab Riyadhus Shalihin, Imam Nawawi mencantumkan 11 hadits. Dalam kitab lain, sekitar 900-an hadits yang terdapat kata yang berasal dari kata tawakal –dari 9 kitab hadits induk, yaitu Shahih Bukhari, Muslim, Sunan Abu Daud, Timidzi, Nasa’i, Ibnu Majah, Addarimi, Muwatha’ Malik dan Musnad Imam Ahmad bin Hambal. Sebelas hadits yang dicantumkan Imam Nawawi dalam Riyadus Shalihin telah mencakup sebagian besar hadits-hadits tentang tawakal. Dari hadits-hadits tentang tawakal ini, kita dapat menyimpulkan beberapa poin:
1.      Orang Yang Bertawakal Hanya Kepada Allah, Akan Masuk Surga Tanpa Hisab.
Dalam hadits Rasulullah saw. bersabda: Dari Abdullah bin Abbas r.a., Rasulullah saw. bersabda: Telah ditunjukkan kepadaku keadaan umat yang dahulu, hingga saya melihat seorang nabi dengan rombongan yang kecil, dan ada nabi yang mempunyai pengikut satu dua orang, bahkan ada nabi yang tiada pengikutnya. Mendadak telihat padaku rombongan yang besar (yang banyak sekali), saya kira itu adalah umatku, namun diberitahukan kepadaku bahwa itu adalah Nabi Musa a.s. beserta kaumnya. Kemudian dikatakan kepadaku, lihatlah ke ufuk kanan dan kirimu, tiba-tiba di sana saya melihat rombongan yang besar sekali. Lalu dikatakan kepadaku, Itulah umatmu, dan di samping mereka ada tujuh puluh ribu yang masuk surga tanpa perhingungan (hisab).
Setelah itu Nabi bangun dan masuk ke rumahnya, sehingga orang-orang banyak yang membicarakan mengenai orang-orang yang masuk surga tanpa hisab itu. Ada yang berpendapat; mungkin mereka adalah sahabat-sahabat Rasulullah saw. Ada pula yang berpendapat, mungkin mereka yang lahir dalam Islam dan tidak pernah mempersekutukan Allah, dan ada juga pendapt-pendapat lain yang mereka sebut.
Kemudian Rasulullah saw. keluar menemui mereka dan bertanya, ‘Apakah yang sedang kalian bicarakan?’ Mereka memberitahukan segala pembicaraan mereka. Beliau bersabda, ‘Mereka tidak pernah menjampi atau dijampikan dan tidak suka menebak nasib dengan perantaraan burung, dan hanya kepada Rabb-nya lah, mereka bertawakal.
Lalu bangunlah Ukasyah bin Mihshan dan berkata, ‘Ya Rasulullah saw., doakanlah aku supaya masuk dalam golongan mereka.’ Rasulullah saw. menjawab, ‘Engkau termasuk golongan mereka.’ Kemudian berdiri pula orang lain, dan berkata, ‘Doakan saya juga supaya Allah menjadikan saya salah satu dari mereka.’ Rasulullah saw. menjawab, ‘Engkau telah didahului oleh Ukasyah.” (Bukhari & Muslim)
2.      Tawakal Merupakan Sunnah Rasulullah Saw.
Rasulullah saw. sendiri senantiasa menggantungkan tawakalnya kepada Allah swt. Salah satu contohnya adalah bahwa beliau selalu mengucapkan doa-doa mengenai ketawakalan dirinya kepada Allah swt.: Dari Ibnu Abbas r.a., bahwa Rasulullah saw. senantiasa berdoa, “Ya Allah, hanya kepada-Mu lah aku menyerahkan diri, hanya kepada-Mu lah aku beriman, hanya kepada-Mu lah aku bertawakal, hanya kepada-Mu lah aku bertaubat, hanya karena-Mu lah aku (melawan musuh-musuh-Mu). Ya Allah, aku berlindung dengan kemuliaan-Mu dimana tiada Tuhan selain Engkau, janganlah Engkau menyesatkanku. Engkau Maha Hidup dan tidak pernah mati, sedangkan jin dan manusia mati.” (Muslim)
3.      Allah Swt Merupakan Sebaik-Baik Tempat Untuk Bertawakal.
Dalam hadits Rasulullah saw. bersabda: Dari Ibnu Abbas r.a., “Hasbunallah wani’mal Wakil’ kalimat yang dibaca oleh Nabi Ibrahim a.s. ketika dilempar ke dalam api, dan juga telah dibaca oleh Nabi Muhammad saw. ketika diprovokasi oleh orang kafir, supaya takut kepada mereka; ‘sesungguhnya manusia telah mengumpulkan segala kekuatannya untuk menghancurkan kalian, maka takutlah kamu dan janganlah melawan, tapi orang-orang beriman bertambah imannya dan membaca, Hasbunallah wa ni’mal Wakil (cukuplah Allah yang mencukupi kami dan cukuplah Allah sebagai tempat kami bertawakal.” (Bukhari)
4.      Tawakal Akan Mendatangkan Nasrullah.
Ini sebagaimana yang terdapat dalam hadits no 5, dalam kitab Riyadhus Shalihin. Dimana dikisahkan pada saat Perang Dzatur-riqa’, ketika Rasulullah saw. sedang beristirahat di bawah sebuah pohon, sedangkan pedang beliau tergantung di pohon. Ketika tiba-tiba datang seorang musyrikin yang mengambil pedang beliau sambil berkata, siapa yang dapat melindungimu dariku? Namun dengan sangat tenang Rasulullah saw menjawab, ‘Allah.’ Setelah tiga kali bertanya, tiba-tiba pedang yang dipegangnya jatuh. Lalu Rasulullah saw. mengambil pedang tersebut seraya bertanya, ‘Sekarang siapakah yang dapat melindungimu dariku?
5.      Tawakal Yang Benar Tidak Akan Menjadikan Seseorang Kelaparan.
Dalam sebuah hadits Rasulullah saw. bersabda: Dari Umar r.a., aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Sekiranya kalian bertawakal kepada Allah dengan tawakal yang sebenar-benarnya, pastilah Allah akan memberikan rezeki kepada kalian sebagaimana Allah memberi rezeki pada seekor burung. Pergi pagi hari dalam keadaan perut kosong, dan pulang sore hari dalam keadaan perut kenyang.” (Tirmidzi)
6.      Tawakal Setelah Usaha.
Dalam sebuah hadits diriwayatkan: Dari Anas bin Malik r.a., ada seseorang berkata kepada Rasulullah saw. “Wahai Rasulullah saw., aku ikat kendaraanku lalu aku bertawakal, atau aku lepas ia dan aku bertawakal?” Rasulullah saw. menjawab, “Ikatlah kendaraanmu lalu bertawakallah.” (HR. Tirmidzi)
Tawakal yang merupakan perintah Allah dan sunnah Rasulullah saw., jika dilakukan dengan baik dan benar, insya Allah tidak akan menjadikan seorang hamba menjadi hina dan tidak memiliki apa-apa. Karena tawakal tidak identik dengan kepasrahan yang tidak beralasan. Namun tawakal harus didahului dengan usaha yang maksimal. Hilangnya usaha, berarti hilanglah hakikat dari tawakal itu




Sabtu, 27 November 2010

TULISAN, BACAAN DAN QIRO’ATI AL-QUR’AN


MAKALAH
“TULISAN, BACAAN DAN QIRO’ATI AL-QUR’AN”
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Pada:
Mata Kuliah: ‘Ulumul Qur’an
Dosen Pengampu : Bpk. Slamet Mujiono, M. Hum


STAINU
 








Di susun oleh kelompok III (Tiga):
1.     Iis Wardatun             : 2093470
2.     ILham Muliawan S.   : 2093471
3.     Khuzti Istiqomah       : 2093472
4.     Mizanul Akrom                   : 2093475
5.     M. Nur Bagus P.       : 2093476


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM  NAHDLATUL ULAMA
(STAINU) KEBUMEN
JL.Tentara Pelajar 55 B Kebumen
TAHUN AJARAN 2009/2010
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Bismillahirrohmannirrohim, puji syukur kami panjatkan kehadirat Alloh SWT karena dengan izin-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini. Sholawat dan salam senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai sauri tauladan bagi umat manusia .
Makalah ini kami susun guna memenuhi tugas pada mata kuliah ‘Ulumul Qur’an di STAINU Kebumen. Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada:
·         Bapak Slamet Mujiono, M. Hum selaku dosen pengampu yang telah memberikan bimbingan kepada kami 
·         Orang tua kami yang selalu memberikan  doa dan dukungan dalam menuntut ilmu
·         Rekan-rekan kelompok yang telah menyumbangkan tenaga dan pikirannya untuk menyusun makalah ini
·         Rekan-rekan mahasiswa dan seluruh pihak yang bersedia memberikan partisipasi dalam penyusunan makalah ini.

Manusia pasti memiliki kekurangan seperti halnya dalam pembuatan makalah ini pun kami banyak sekali kekurangan. Untuk itu, kami selalu mengharap kritik dan saran dari pembaca guna kemajuan bersama.
              Wassalamu’alaikum Wr. Wb.













DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
            TULISAN BACAAN DAN QIRA’ATI AL-QUR’AN
A.    TULISAN
1.      Bentuk Tulisan Yang Dipergunakan Untuk Menulis Al Qur’an Dan Para Ahli Tulis Di Masa Itu
2.      Cara menulis Al Qur’an yang dipakai untuk menulisnya di luar mushaf
B.     BACAAN
C.    QIRO’ATI AL-QUR’AN
1.      Pengertian Al-Qira’at
2.      Latar Belakang Timbulnya Perbedaan Qira’at
3.      Penyebab Perbedaan Qira’at
4.      Macam-Macam Qira’at
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA











BAB I
PENDAHULUAN
bangsa Arab merupakan komunitas dari berbagai suku yang secara sporadis tersebar disepanjang Jazirah Arab. Setiap suku mempunyai format dialek (lahjah) yang tipikal dan berbeda dengan suku-suku lainnya. Perbedaan dialek itu tentunya sesuai dengan letak geografis dan sosio-kultural dari masing-masing suku. Namun demikian, mereka telah menjadikan bahasa quraisy sebagai bahasa bersama. Dalam berkomunikasi, berniaga, mengunjungi Ka’bah dan melakukan bentuk-bentuk interaksi lainnya. Dan kenyataan diatas adalah sebenarnya kita dapat memahami alasan Al-Qur’an diturunkan dengan menggunakan bahasa Quraisy.
maka dari itulah, dari kelompok kami akan membahas tentang bagaimana Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad, dari segi tulisan, bacaan dan Qira’ati Al-Quran di masa itu, yaitu masa Nabi Muhammad sampai kepada Sahabat dan para Tabi’in.



















BAB II
PEMBAHASAN
TULISAN, BACAAN DAN QIRO’ATI AL-QUR’AN

A.    TULISAN

1.      Bentuk Tulisan Yang Dipergunakan Untuk Menulis Al Qur’an Dan Para Ahli Tulis Di Masa Itu
Tulis menulis di kalangan orang Arab jahiliyah amat sedikit. Yang mula-mula belajar menulis di antara orang Arab ialah Basyr ibn Abdil Malik saudara ‘Ukaidir Daumah. Ia belajar pada orang Al Anbar, kemudian ia pergi ke Makkah dan di situ ia beristerikan Shahba’, anak Harb Ibn Umaiyah, saudara Sakhr Abu Sufyan. Harb dan anaknya Sufyan belajar menulis padanya. Kemudiab Harb mengajar Umar ibn Khaththab, Muawiyah belajar pada Sufyan bapak kecilnya.
Tulisan orang Al Anbar, diperbaiki (disempurnakan) oleh ulama Kufah, dan tulisan inilah yang dipakai dewasa itu.tulisan itu tiada berbaris dan tiada bertitik. Kemudian bentuk tulisan itu diperbaiki oleh Abu Ali Muhammad ibn Ali ibn Muqlah dan kemudian diperbaiki oleh Ali bin Hilal Al Bagdady yang terkenal dengan nama Ibnul Bauwa.
Mushaf yang ditulis atas perintah Utsman itu tidak  berbaris dan tidak bertitik. Karena itu dapat dibaca dengan salah suatu qiraat yang tujuh. Setelah banyak orang yang bukan Arab masuk ke Islam, mulailah terdapat kecederaan dalam pembacaan. Maka timbullah pada beberapa ulama perasaan takut bahwa Al Qur’an akan mulai ditimpai oleh kecederaan-kecederaan itu. Ketika itu, Ziyad bin Abihi, yang menjadi hulubalang di Irak, meminta kepada Abul Aswad Ad Dualy, salah seorang dari ketua-ketua tabi’in, membuat tanda-tanda pembacaan. Abu Aswad lalu memberi baris huruf penghabisan dari kalimat saja dengan memakai titik di atas sebagai baris di atas dan titik di bawah sebagai baris di bawah dan di samping sebagai tanda di depan dan dua titik sebagai tanda baris dua.
Sistim Abul Aswad ini tidak  dapat mencegah kecederaan di dalam pembacaan.karena itu untuk membedakan satu huruf dengan yang lain terpaksalah diberi titik dan dibariskan kalimat dengan secukupnya. Usaha memberi titik huruf Al Qur’an itu dikerjakan oleh Nashar ibn ‘Ashim dengan perintah Al Hajjaj.
Al Khalil mengubah sistim baris Abul Aswad dengan menjadikan alif dibaringkan di atas haraf tanda baris di atas dan yang di bawah haraf tanda baris di bawah dan Waw tanda baris di depan. Beliau jugalah yang membuat tanda mad dan tasydid.
Sesudah itu barulah pengahafal-penghafal Al Qur’an membuat tanda-tanda ayat, tanda-tanda waqaf dan ‘ibtida’ serta menerangkan di pangkal-pangkal surat nama surat dan tempat-tempat turunnya, di Makkah atau di Madinah dan menyebut bilangan ayatnya. Menurut riwayat sebagian ini dikerjakan atas kemauan Al Ma’mun.
Ada diriwayatkan, bahwa yang mula-mula member titik dan baris ialah Al Hasan Al Bishry dengan suruhan Abdil Malik ibn Marwan. Abdil Malik ibn Marwan memerintahkan kepada Al Hajjaj sewaktu Al Hajjaj berada di Wasith, lalu Al Hajjaj menyuruh Al Hasan Al Bishry dan Yahya ibn Ya’mura, murid Abul Aswad Al Dualy.

2.      Cara Menulis Al Qur’an Yang Dipakai Untuk Menulisnya Di Luar Mushaf
Para ulama mengenai tulisan ‘Utsmany itu (mengenai kemestian kita mengikuti resam ‘utsmany) dalam menulis Al Qur’an mempunyai tiga pendapat.
a.       Tidak dibolehkan sekali-kali kita menyalahi Khath ‘Utsmany, baik dalam menulis waw, maupun dalam menulis alif, menulis ya atau lainnya.
b.      Tulisan Al Qur’an itu bukan tulisan taufiqi, bukan demikian diterima oleh syara’. Tulisan yang sudah ditetapkan itu, tulisan yang dimufakati menulisnya di masa itu.
c.       Pengarang At Tibyan dan pengarang Al Burhan memilih pendapat yang dipahamkan dari perkataan Ibnu ‘Abdis Salam, yaitu kebolehan kita menulis Al Qur’an untuk umum manusia menurut istilah-istilah yang dikenal oleh mereka dan tidah diharuskan kita menulis menurut tulisan lama, karena ditakutkan akan meragukan mereka. Dalam pada itu haruslah ada orang yang memelihara tulisan lama sebagai suatu barang pusaka.




B.     BACAAN
Qira’at (baca AI-Qur’an) diper­kenalkan oleh Nabi Muhammad saw. sendiri, suatu praktik (sunnah) yang me­nunjukkan tata cara bacaan setiap ayat. Aspek ini juga berkaitan erat dengan kewahyuan AI-Qur’an: Teks Al-Qur’an telah diturunkan dalam bentuk ucapan lisan dan dengan mengumumkannya secara lisan pula, berarti Nabi Muhammad Saw secara otomatis menyediakan teks dan cara pengucapannya pada umatnya.
‘Umar dan Hisham bin Hakim ketika berselisih bacaan tentang sepotong ayat dalam Surah al-Furqan walaupun pernah sama-sama belajar langsung dari Nabi Muhammad Saw, Umar bertanya pada Hisyam siapa yang telah mengajarnya? Dia menjawab, “Nabi Muhammad”. Kejadian serupa juga dialami oleh Ubay bin Ka’ab.Tidak ada seorang sahabat yang berani mengada-ada membuat silabus sendiri: semua bacaan sekecil apa pun merupakan warisan Nabi Muhammad .
Dari pada itu, oleh malaikat Jibril diadakan ulangan bacaan sekali setahun. Di dalam ulangan bacaan itu, Nabi Muhammad disuruh mengulang memperdengarkan Al Quran  yang telah diturunkan itu. Di tahun baginda wafat, ulangan bacaan itu diadakan oleh Jibril dua kali. Nabi Muhammad sendiri pun sering pula mengadakan ulangan bacaan itu terhadap sahabat-sahabatnya. Maka sahabat-sahabat itu disuruh oleh Nabi Muhammad membacakan atau memperdengarkan Al Quran itu di hadapannya. Ini untuk menetapkan atau memperbetulkan hafalan atau bacaan mereka.
Ketika Nabi Muhammad wafat, Al Quran itu telah sempurna diturunkan dan telah dihafal oleh ribuan manusia, dan telah dituliskan semua ayat-ayatnya. Ayat-ayat dan surah-surahnya telah disusun menurut tertib urut yang dipertunjukkan sendiri oleh Nabi Muhammad. Mereka telah mendengar Al Quran itu dari mulut Nabi Muhammad berkali-kali, dalam shalat, dalam pidato-pidato baginda, dalam pelajaran-pelajaran dan lain-lain, sebagaimana Nabi Muhammad sendiripun telah mendengar pula dari mereka. Dalam makna lain, Al Quran adalah dijaga dan terpelihara dengan baik, dan Nabi Muhammad telah mengadakan satu kaedah yang amat praktis untuk memelihara dan menyiarkan Al Quran itu, sesuai dengan keadaan bangsa Arab Islam ketika itu.
Di masa khalifah Usman bin Affan r.a pemerintahan Islam telah sampai hingga ke Armenia dan Azerbaijan disebelah timur dan Tripoli di sebelah barat. Maka dengan itu kelihatannya kaum muslim telah tersebar ke seluruh wilayah Islam seperti ke Mesir, Syria, Irak, Persia dan Afrika. Ke mana mereka pergi dan di mana mereka tinggal, Al Quran tetap menjadi imam (petunjuk) mereka, dan di antara mereka itu banyak yang hafal Al Quran. Dan di antara mereka juga mempunyai naskah-naskah Al Quran. Namun naskah-naskah yang mereka punyai itu tidak sama dari segi susunan surah-surahnya.
Di samping itu di antara mereka itu terdapat perbedaan tentang bacaan Al Quran itu. Pada asalnya perbeaan bacaan ini ialah karena Rasulullah sendiri pun memberi kelonggaran kepada kabilah-kabilah Arab. Islam yang berada di masanya untuk membaca dan melafadzkan Al Quran itu menurut lahjah (dialek) mereka masing-masing. Kelonggaran ini diberikan oleh Nabi Muhammad supaya mudah bagi mereka untuk menghafal Al Quran itu.
Tetapi kemudianya kelihatan tanda-tanda bahawa perbedaan tentang bacaan Al Quran ini kalau dibiarkan, akan mendatangkan perselisihan dan perpecahan yang tidak diinginkan dalam kalangan kaum muslimin. Orang yang mula-mula memperhatikan hal ini ialah seorang sahabat yang bernama Hudzaifah bin Yaman. Ketika beliau turut serta dalam pertempuran menakluki Armenia dan Azerbaijan, di dalam perjalanan beliau pernah mendengar pertikaian kaum muslimin tentang bacaan beberapa ayat Al Quran, dan juga pernah mendengar perkataan seorang muslim kepada temannya yaitu: "Bacaan ku lebih baik dari bacaan mu". Keadaan ini membimbangkan Hudzaifah. Maka apabila beliau telah kembali ke Madinah, beliau menemui khalifah Usman b in Affan r.a dan beliau menceritakan apa yang dilihatnya mengenai pertikaian kaum muslimin tentang bacaan Al Quran itu.

Huzaifah berkata kepada Usman: "Susulilah umat Islam itu sebelum mereka berselisih tentang Al Kitab, sepertimana perselisihan Yahudi dan Nasara".

Maka khalifah Usman r.a meminta kepada Hafsah binti Umar lembaran-lembaran Al Quran yang telah diikat itu, yang ditulis di masa khalifah Abu Bakar r.a, yang disimpan oleh Hafsah untuk disalin. Maka lembaran-lembaran tersebut diserahkan kepada khalifah Usman r.a oleh Hafsah. Seterusnya Khalifah Usman membentuk satu panitia yang terdiri daripada Zaid bin Tsabit sebagai ketua, Abdullah bin Zubair, Sa'id bin 'Ash dan Abdur Rahman bin Harits bin Hisyam. Panitia ini diberikan tugas untuk membukukan Al Quran, yaitu menyalin dari lembaran-lembaran tersebut, seterusnya menjadi buku (diikatkan). Dalam menjalankan tugas ini, khalifah Usman menasihatkan supaya:
1.      Mengambil pedoman kepada bacaan mereka yang hafal Al Quran
2.      Kalau ada pertikaian antara mereka tentang bahasa (bacaan), maka haruslah ditulis menurut dialek suku Quraisy, sebab Al Quran itu diturunkan menurut dialek mereka.
Setelah tugas yang diamanahkan kepada panitia itu selesai maka mushaf Al Quran yang dipinjamkan daripada Hafsah itu dipulangkan semula kepada beliau. Al Quran yang dibukukan itu dinamakan "Al Mushhaf" dan seterusnya oleh panitia itu dituliskan lagi 5 buah Al Mushhaf. Empat buah di antaranya dikirimkan ke Mekah, Syria, Basrah dan Kufah, agar di tempat-tempat tersebut disalin pula dari masing-masing mushaff itu. Manakala satu buah lagi ditinggalkan di Madinah, untuk Usman sendiri dan itulah yang dinamai dengan "Mushhaf Al Imam".

Setelah itu khalifah Usman memerintahkan semua lembaran-lembaran Al Quran yang lain yang ditulis (selain daripada Al Mushhaf) dikumpulkan dan membakarnya. Maka dengan itu daripada mushhaf yang ditulis di zaman khalifah Usman itulah, kaum muslimin diseluruh pelosok menyalin Al Quran itu.
Sehingga sekarang masih wujud kelainan bacaan kerana bacaan-bacaan yang dirawikan dengan mutawatir dari Nabi Muhammad terus dipakai oleh kaum muslimin. Namun bacaan-bacaan tersebut tidaklah berlawanan dengan apa yang ditulis dalam mushhaf-mushhaf yang ditulis dimasa khalifah Usman. Dengan demikian, pembukuan Al Quran di masa khalifah Usman itu memberikan beberapa kebaikkan seperti :
1.      Menyatukan kaum muslimin pada satu bentuk mushhaf yang seragam ejaan tulisannya.
2.      Menyatukan bacaan, walaupun masih wujud kelainan bacaan, tetapi bacaan itu tidak berlawanan dengan ejaan mushhaf-mushhaf Usman. Manakala bacaan-bacaan yang tidak bersesuaian dengan mushhaf-mushhaf Usman tidak dibenarkan lagi.
3.      Menyatukan tertib susunan surah-surah.
Akhirnya sampailah kepada kita sekarang dengan tidak ada sebarang perubahan sedikit pun dari bacaan, tulisan dari apa yang telah diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. Dari setiap masa dan zaman, Al Quran ini dihafal oleh jutaan umat Islam di Dunia. Ini  adalah salah satu inayat Tuhan untuk menjaga Al Quran. Dengan itu terbuktilah firman Allah.

"Sesungguhnya Kami telah menurunkan Al Quran dan sesungguhnya Kami tetap memeliharanya." (Surah Al Hijr: 9)

C.    QIRO’ATI AL-QUR’AN
1.      Pengertian Al-Qira’at

Secara bahasa qira’at merupakan kata jadian (mashdar) dari kata kerja qara’a (membaca), sedangkan menurut istilah Qira’at adalah perbedaan (cara mengucapkan) lafadz-lafadz alquran, baik menyangkut huruf-hurufnya atau cara pengucapan huruf-huruf tersebut, seperti takhfif (meringankan), tatsqil (memberatkan), dan atau yang alainnya.1
            Ada tiga unsure dalam Qira’ati Al-qur’an, diantaranya adalah:
1.      Qiro’at berkaitan dengan car pelafalan ayat-ayat Al-quran yang dilakukan salah seorang imam berbeda dengan cara yang dilakukan imam-imam lainnya.
2.      Cara pelafalan ayat-ayat Al-qur’an itu berdasarkan atas riwayat yang bersambung kepada Nabi. Jadi, bersifat tauqifi, bukan ijtihadi.
3.      Ruang lingkup perbedaan qira’at itu menyangkut persoalan lughat, hadzaf, i’rab, itsbat, fashl dan washl.

2.      Latar Belakang Timbulnya Perbedaan Qira’at

a.       Latar belakang historis
Menurut catatan sejarah, timbulnya penyebaran qira’at dimulai pada masa tabi’in, yaitu pada awal abad 11 H2  tatkala para Qari’ telah tersebar diberbagai pelosok. Mereka lebih suka mengemukakan qira’at gurunya dari pada mengikuti qiro’at imam-imam lainnya. Qiroat-qiroat tersebut diajarkan secara turun-temurun dari guru ke murid, sehingga sampai pada para imam qira’at, baik yang tujuh, sepuluh, atau yang empat belas.
Kebijakan Abu Bakar siddiq yang tidak mau memusnahkan mushaf-mushaf lain, selain yang telah disusun Zaid Bin Tsabit, seperti mushaf yang yang dimiliki Ibnu mas’ud, Abu Musa Al-asyari, Miqdad Bin Amar, Ubay Bin Ka’ab dan Ali Bin Abi Thalib, mempunyai andil besar dalam munculnya qira’at yang kian beragam. Perlu dicatat bahwa mushaf-mushaf itu tidak berbeda dengan yang disusum Zaid Bin Tsabit dan kawan-kawannya, kecuali dalm dua hal saja, yaitu: Kronologi surah dan sebagian bacaan yang merupakan penafsiran yang ditulis dengan lahdjah tersendiri. Hal ini karena mushaf-mushaf itu merupakan catatan pribadi mereka masing-masing.
Masih adanya mushaf-mushaf itu disertai dengan penyebaran para qari’ keberbagai penjuru, pada gilirannyamelahirkan sesuatu yang tidak diinginkan, yakni timbulnya qira’at yang semakin beragam.
Sesudah itu para imam menyusun kitab-kitab mengenai qira’at. Orang yang pertama kalimenyusun qira’at dalam satu kitab adalah Abu Ubaidah Al-qasim Bin Salam (w. 244 H). ia telah mengumpulkam qira’at sebanyak kurang lebih 25 macam. Kemudian menyusullah imam-imam lainnya, diantara mereka ada yang menetapkan 20 macam; dan ada pula yang menetapkan di bawah bilangan itu.3
b.      Latara belakang cara penyampaian (kaifiyat al-ada’)
Menurut analisis yang disampaikan Sayyid Ahmad Khalil, perbedaan qira’at itu bermula dari bagaimana seorang guru membacakan qira’at itu bermula dari bagaiman seorang guru membacakan qiroat itu kepada murid-muridnya. Hal itu mendorong beberapa ulama mencoba merangkum bentuk-bentuk perbedaan cara melafalkan Al-qur’an itu sebagai berikut:
a.       Perbedaan dalam I’rab atau harakat kalimat tanpa perubahan makna dan bentuk kalimat.
b.      Perbedaan pada I’rab dan harakat (baris) kalimat sehingga mengubah maknanya.
c.       Perbedaan pada huruf tanpa perubahan I’rab dan bentuk tulisannya, sedangkan maknanya berubah.
d.      Perubahan pada kalimat dengan perubahan pada bentuk tulisannya, tetapi maknanya tidak berubah.
e.       Perbedaan pada kalimat yang menyebabkan perubahan bentuk dan maknanya
f.       Perbedaan dalam mendahulukan dan mengakhirkannya.
g.      Perbedaan dengan menambah dan mengurangi huruf.

3.      Penyebab Perbedaan Qira’at

a.       Perbedaan Qira’at Nabi
Artinya dalam mengajarkan Al-qur’an kepada para sahabatnya, nabi memakai beberapa versi qira’at.
b.      Pengakuan dari nabi terhadap berbagai qira’at yang berlaku dikalangan kaum muslimin waktu itu. Hal ini menyangkut dialek diantara mereka dalam mengucapkan kata-kata di dalam Al-Qur’an.
c.       Adanya riwayat dari para sahabat Nabi menyangkut dari berbagai versi qira’at yang ada.
d.      Adanya lahjah atau dialek kebahasaan dikalangan bangsa Arab pada masa turunnya A-qur’an.

4.      Macam-Macam Qira’at
a.       Dari segi kualitas
·         Qira’at Sab’ah (Qira’ah Tujuh) kata sab’ah itu sendiri maksudnya adalah imam-imam qira’ah yang tujuh.
·         Qira’at ‘Asyrah (qira’ah Sepuluh).
·         Qira’at ‘Arba’at Asyrah (Qira’at Empat Belas)
b.      Dari segi kualitas
Berdsarkan penelitian Al-Jazari, berdasarkan kualitasa, qira’ah dapat dikelompokkan dalam lima bagian, diantaranya adalah:
·         Qira’ah Mutawatir,
Yakni yang disampaikan sekelompok orang, melalui dari awal sampai akhir sanad, yang tidak mungkin bersepakat untuk berbuat dusta.
·         Qira’ah masyhur,
Yakni qira’ah yang memiliki sanad shahih, tetapi tidak sampai pada kualitas mutawatir. Qira’at ini sesuai dengan kaidah bahasa Arab dan tulisan mushaf ‘Utsmani, masyhur dikalangan qurra’, dibaca sebagaimana ketentuan yang telah ditetapkan Al-jazari, dan tidak termasuk qira’ah yang keliru.
·         Qira’ah ahad,
Yakni yang memiliki sanad sahih, tetapi menyalahi tulisan mushaf Usmani dan kaidah bahasa Arab, tidak memiliki jemasyhuran, dan tidak dibaca sebagaimana ketentuan yang telah ditetapkan Al-Jazari.
·         Qira’ah Syadz (menyimpang),
Yakni Qira’at yang sanadnya tidak shahih. Telah banyak kitab yang ditulis untuk jenis qira’at ini.
·         Qira’at maudhu’ (palsu), seperti qira’at Al-khazzani.
As-Suyuti kemudian menambah qira’at yang keenam.
Qira’ah yang menyerupai hadist mudraj (sisipan),
·         Yakni adanya sisipan pada bacaan dengan  tujuan penafsiran.
Tolak ukur yang dijadikan pegangan para ulama dalam menetapkan qira’ah shahih adalah sebagai berikut:
1.      Bersesuaian dengan kaidah bahasa Arab, baik yang fasih atau paling fasih.
2.      Bersesuaian dengan salah satu kaidah penulisan mushaf Utsman walaupun hanya kemungkinan.
3.      Memiliki sanad yang sahih.


































KESIMPULAN
Tulis menulis di kalangan orang Arab jahiliyah amat sedikit. Yang mula-mula belajar menulis di antara orang Arab ialah Basyr ibn Abdil Malik saudara ‘Ukaidir Daumah.
Para ulama mengenai tulisan ‘Utsmany itu (mengenai kemestian kita mengikuti resam ‘utsmany) dalam menulis Al Qur’an mempunyai tiga pendapat.
a.       Tidak dibolehkan sekali-kali kita menyalahi Khath ‘Utsmany, baik dalam menulis waw, maupun dalam menulis alif, menulis ya atau lainnya.
b.      Tulisan Al Qur’an itu bukan tulisan taufiqi, bukan demikian diterima oleh syara’. Tulisan yang sudah ditetapkan itu, tulisan yang dimufakati menulisnya di masa itu.
c.       Pengarang At Tibyan dan pengarang Al Burhan memilih pendapat yang dipahamkan dari perkataan Ibnu ‘Abdis Salam, yaitu kebolehan kita menulis Al Qur’an untuk umum manusia menurut istilah-istilah yang dikenal oleh mereka dan tidah diharuskan kita menulis menurut tulisan lama, karena ditakutkan akan meragukan mereka. Dalam pada itu haruslah ada orang yang memelihara tulisan lama sebagai suatu barang pusaka.
Secara bahasa qira’at merupakan kata jadian (mashdar) dari kata kerja qara’a (membaca), sedangkan menurut istilah Qira’at adalah perbedaan (cara mengucapkan) lafadz-lafadz alquran, baik menyangkut huruf-hurufnya atau cara pengucapan huruf-huruf tersebut, seperti takhfif (meringankan), tatsqil (memberatkan), dan atau yang alainnya.
Ketika Nabi Muhammad wafat, Al Quran itu telah sempurna diturunkan dan telah dihafal oleh ribuan manusia, dan telah dituliskan semua ayat-ayatnya. Ayat-ayat dan surah-surahnya telah disusun menurut tertib urut yang dipertunjukkan sendiri oleh Nabi Muhammad. Mereka telah mendengar Al Quran itu dari mulut Nabi Muhammad berkali-kali, dalam shalat, dalam pidato-pidato baginda, dalam pelajaran-pelajaran dan lain-lain, sebagaimana Nabi Muhammad sendiripun telah mendengar pula dari mereka. Dalam makna lain, Al Quran adalah dijaga dan terpelihara dengan baik, dan Nabi Muhammad telah mengadakan satu kaedah yang amat praktis untuk memelihara dan menyiarkan Al Quran itu, sesuai dengan keadaan bangsa Arab Islam ketika itu.





DAFTAR PUSTAKA
Prof. Dr. T. M. Hasbi Ash Shiddieqy, 1980, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al Qur’an/Tafsir, Jakarta : Bulan Bintang
Drs. Rosihon Anwar, M.Ag, 2000, Ulumul Qur’an Untuk IAIN, STAIN, PTIS, Bandung: Pustaka Setia
Rujukan : Al Quran dan Terjemahannya - Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al Quran Indonesia
http://nabimuhammad.info/2010/06/i-sejarah-teks-al-quran-penyebab-munculnya-ragam-bacaan-1115/
http://apakataanda.smfforfree3.com/index.php?topic=8.0