MAKALAH
“TULISAN, BACAAN DAN QIRO’ATI AL-QUR’AN”
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Pada:
Mata Kuliah: ‘Ulumul Qur’an
Dosen Pengampu : Bpk. Slamet Mujiono, M. Hum
Di susun oleh kelompok III (Tiga):
1. Iis Wardatun : 2093470
2. ILham Muliawan S. : 2093471
3. Khuzti Istiqomah : 2093472
4. Mizanul Akrom : 2093475
5. M. Nur Bagus P. : 2093476
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NAHDLATUL ULAMA
(STAINU) KEBUMEN
JL.Tentara Pelajar 55 B Kebumen
TAHUN AJARAN 2009/2010
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Bismillahirrohmannirrohim, puji syukur kami panjatkan kehadirat Alloh SWT karena dengan izin-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini. Sholawat dan salam senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai sauri tauladan bagi umat manusia .
Makalah ini kami susun guna memenuhi tugas pada mata kuliah ‘Ulumul Qur’an di STAINU Kebumen. Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada:
· Bapak Slamet Mujiono, M. Hum selaku dosen pengampu yang telah memberikan bimbingan kepada kami
· Orang tua kami yang selalu memberikan doa dan dukungan dalam menuntut ilmu
· Rekan-rekan kelompok yang telah menyumbangkan tenaga dan pikirannya untuk menyusun makalah ini
· Rekan-rekan mahasiswa dan seluruh pihak yang bersedia memberikan partisipasi dalam penyusunan makalah ini.
Manusia pasti memiliki kekurangan seperti halnya dalam pembuatan makalah ini pun kami banyak sekali kekurangan. Untuk itu, kami selalu mengharap kritik dan saran dari pembaca guna kemajuan bersama.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
TULISAN BACAAN DAN QIRA’ATI AL-QUR’AN
A. TULISAN
1. Bentuk Tulisan Yang Dipergunakan Untuk Menulis Al Qur’an Dan Para Ahli Tulis Di Masa Itu
2. Cara menulis Al Qur’an yang dipakai untuk menulisnya di luar mushaf
B. BACAAN
C. QIRO’ATI AL-QUR’AN
1. Pengertian Al-Qira’at
2. Latar Belakang Timbulnya Perbedaan Qira’at
3. Penyebab Perbedaan Qira’at
4. Macam-Macam Qira’at
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
bangsa Arab merupakan komunitas dari berbagai suku yang secara sporadis tersebar disepanjang Jazirah Arab. Setiap suku mempunyai format dialek (lahjah) yang tipikal dan berbeda dengan suku-suku lainnya. Perbedaan dialek itu tentunya sesuai dengan letak geografis dan sosio-kultural dari masing-masing suku. Namun demikian, mereka telah menjadikan bahasa quraisy sebagai bahasa bersama. Dalam berkomunikasi, berniaga, mengunjungi Ka’bah dan melakukan bentuk-bentuk interaksi lainnya. Dan kenyataan diatas adalah sebenarnya kita dapat memahami alasan Al-Qur’an diturunkan dengan menggunakan bahasa Quraisy.
maka dari itulah, dari kelompok kami akan membahas tentang bagaimana Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad, dari segi tulisan, bacaan dan Qira’ati Al-Quran di masa itu, yaitu masa Nabi Muhammad sampai kepada Sahabat dan para Tabi’in.
BAB II
PEMBAHASAN
TULISAN, BACAAN DAN QIRO’ATI AL-QUR’AN
A. TULISAN
1. Bentuk Tulisan Yang Dipergunakan Untuk Menulis Al Qur’an Dan Para Ahli Tulis Di Masa Itu
Tulis menulis di kalangan orang Arab jahiliyah amat sedikit. Yang mula-mula belajar menulis di antara orang Arab ialah Basyr ibn Abdil Malik saudara ‘Ukaidir Daumah. Ia belajar pada orang Al Anbar, kemudian ia pergi ke Makkah dan di situ ia beristerikan Shahba’, anak Harb Ibn Umaiyah, saudara Sakhr Abu Sufyan. Harb dan anaknya Sufyan belajar menulis padanya. Kemudiab Harb mengajar Umar ibn Khaththab, Muawiyah belajar pada Sufyan bapak kecilnya.
Tulisan orang Al Anbar, diperbaiki (disempurnakan) oleh ulama Kufah, dan tulisan inilah yang dipakai dewasa itu.tulisan itu tiada berbaris dan tiada bertitik. Kemudian bentuk tulisan itu diperbaiki oleh Abu Ali Muhammad ibn Ali ibn Muqlah dan kemudian diperbaiki oleh Ali bin Hilal Al Bagdady yang terkenal dengan nama Ibnul Bauwa.
Mushaf yang ditulis atas perintah Utsman itu tidak berbaris dan tidak bertitik. Karena itu dapat dibaca dengan salah suatu qiraat yang tujuh. Setelah banyak orang yang bukan Arab masuk ke Islam, mulailah terdapat kecederaan dalam pembacaan. Maka timbullah pada beberapa ulama perasaan takut bahwa Al Qur’an akan mulai ditimpai oleh kecederaan-kecederaan itu. Ketika itu, Ziyad bin Abihi, yang menjadi hulubalang di Irak, meminta kepada Abul Aswad Ad Dualy, salah seorang dari ketua-ketua tabi’in, membuat tanda-tanda pembacaan. Abu Aswad lalu memberi baris huruf penghabisan dari kalimat saja dengan memakai titik di atas sebagai baris di atas dan titik di bawah sebagai baris di bawah dan di samping sebagai tanda di depan dan dua titik sebagai tanda baris dua.
Sistim Abul Aswad ini tidak dapat mencegah kecederaan di dalam pembacaan.karena itu untuk membedakan satu huruf dengan yang lain terpaksalah diberi titik dan dibariskan kalimat dengan secukupnya. Usaha memberi titik huruf Al Qur’an itu dikerjakan oleh Nashar ibn ‘Ashim dengan perintah Al Hajjaj.
Al Khalil mengubah sistim baris Abul Aswad dengan menjadikan alif dibaringkan di atas haraf tanda baris di atas dan yang di bawah haraf tanda baris di bawah dan Waw tanda baris di depan. Beliau jugalah yang membuat tanda mad dan tasydid.
Sesudah itu barulah pengahafal-penghafal Al Qur’an membuat tanda-tanda ayat, tanda-tanda waqaf dan ‘ibtida’ serta menerangkan di pangkal-pangkal surat nama surat dan tempat-tempat turunnya, di Makkah atau di Madinah dan menyebut bilangan ayatnya. Menurut riwayat sebagian ini dikerjakan atas kemauan Al Ma’mun.
Ada diriwayatkan, bahwa yang mula-mula member titik dan baris ialah Al Hasan Al Bishry dengan suruhan Abdil Malik ibn Marwan. Abdil Malik ibn Marwan memerintahkan kepada Al Hajjaj sewaktu Al Hajjaj berada di Wasith, lalu Al Hajjaj menyuruh Al Hasan Al Bishry dan Yahya ibn Ya’mura, murid Abul Aswad Al Dualy.
2. Cara Menulis Al Qur’an Yang Dipakai Untuk Menulisnya Di Luar Mushaf
Para ulama mengenai tulisan ‘Utsmany itu (mengenai kemestian kita mengikuti resam ‘utsmany) dalam menulis Al Qur’an mempunyai tiga pendapat.
a. Tidak dibolehkan sekali-kali kita menyalahi Khath ‘Utsmany, baik dalam menulis waw, maupun dalam menulis alif, menulis ya atau lainnya.
b. Tulisan Al Qur’an itu bukan tulisan taufiqi, bukan demikian diterima oleh syara’. Tulisan yang sudah ditetapkan itu, tulisan yang dimufakati menulisnya di masa itu.
c. Pengarang At Tibyan dan pengarang Al Burhan memilih pendapat yang dipahamkan dari perkataan Ibnu ‘Abdis Salam, yaitu kebolehan kita menulis Al Qur’an untuk umum manusia menurut istilah-istilah yang dikenal oleh mereka dan tidah diharuskan kita menulis menurut tulisan lama, karena ditakutkan akan meragukan mereka. Dalam pada itu haruslah ada orang yang memelihara tulisan lama sebagai suatu barang pusaka.
B. BACAAN
Qira’at (baca AI-Qur’an) diperkenalkan oleh Nabi Muhammad saw. sendiri, suatu praktik (sunnah) yang menunjukkan tata cara bacaan setiap ayat. Aspek ini juga berkaitan erat dengan kewahyuan AI-Qur’an: Teks Al-Qur’an telah diturunkan dalam bentuk ucapan lisan dan dengan mengumumkannya secara lisan pula, berarti Nabi Muhammad Saw secara otomatis menyediakan teks dan cara pengucapannya pada umatnya.
‘Umar dan Hisham bin Hakim ketika berselisih bacaan tentang sepotong ayat dalam Surah al-Furqan walaupun pernah sama-sama belajar langsung dari Nabi Muhammad Saw, Umar bertanya pada Hisyam siapa yang telah mengajarnya? Dia menjawab, “Nabi Muhammad”. Kejadian serupa juga dialami oleh Ubay bin Ka’ab.Tidak ada seorang sahabat yang berani mengada-ada membuat silabus sendiri: semua bacaan sekecil apa pun merupakan warisan Nabi Muhammad .
Dari pada itu, oleh malaikat Jibril diadakan ulangan bacaan sekali setahun. Di dalam ulangan bacaan itu, Nabi Muhammad disuruh mengulang memperdengarkan Al Quran yang telah diturunkan itu. Di tahun baginda wafat, ulangan bacaan itu diadakan oleh Jibril dua kali. Nabi Muhammad sendiri pun sering pula mengadakan ulangan bacaan itu terhadap sahabat-sahabatnya. Maka sahabat-sahabat itu disuruh oleh Nabi Muhammad membacakan atau memperdengarkan Al Quran itu di hadapannya. Ini untuk menetapkan atau memperbetulkan hafalan atau bacaan mereka.
Ketika Nabi Muhammad wafat, Al Quran itu telah sempurna diturunkan dan telah dihafal oleh ribuan manusia, dan telah dituliskan semua ayat-ayatnya. Ayat-ayat dan surah-surahnya telah disusun menurut tertib urut yang dipertunjukkan sendiri oleh Nabi Muhammad. Mereka telah mendengar Al Quran itu dari mulut Nabi Muhammad berkali-kali, dalam shalat, dalam pidato-pidato baginda, dalam pelajaran-pelajaran dan lain-lain, sebagaimana Nabi Muhammad sendiripun telah mendengar pula dari mereka. Dalam makna lain, Al Quran adalah dijaga dan terpelihara dengan baik, dan Nabi Muhammad telah mengadakan satu kaedah yang amat praktis untuk memelihara dan menyiarkan Al Quran itu, sesuai dengan keadaan bangsa Arab Islam ketika itu.
Ketika Nabi Muhammad wafat, Al Quran itu telah sempurna diturunkan dan telah dihafal oleh ribuan manusia, dan telah dituliskan semua ayat-ayatnya. Ayat-ayat dan surah-surahnya telah disusun menurut tertib urut yang dipertunjukkan sendiri oleh Nabi Muhammad. Mereka telah mendengar Al Quran itu dari mulut Nabi Muhammad berkali-kali, dalam shalat, dalam pidato-pidato baginda, dalam pelajaran-pelajaran dan lain-lain, sebagaimana Nabi Muhammad sendiripun telah mendengar pula dari mereka. Dalam makna lain, Al Quran adalah dijaga dan terpelihara dengan baik, dan Nabi Muhammad telah mengadakan satu kaedah yang amat praktis untuk memelihara dan menyiarkan Al Quran itu, sesuai dengan keadaan bangsa Arab Islam ketika itu.
Di masa khalifah Usman bin Affan r.a pemerintahan Islam telah sampai hingga ke Armenia dan Azerbaijan disebelah timur dan Tripoli di sebelah barat. Maka dengan itu kelihatannya kaum muslim telah tersebar ke seluruh wilayah Islam seperti ke Mesir, Syria, Irak, Persia dan Afrika. Ke mana mereka pergi dan di mana mereka tinggal, Al Quran tetap menjadi imam (petunjuk) mereka, dan di antara mereka itu banyak yang hafal Al Quran. Dan di antara mereka juga mempunyai naskah-naskah Al Quran. Namun naskah-naskah yang mereka punyai itu tidak sama dari segi susunan surah-surahnya.
Di samping itu di antara mereka itu terdapat perbedaan tentang bacaan Al Quran itu. Pada asalnya perbeaan bacaan ini ialah karena Rasulullah sendiri pun memberi kelonggaran kepada kabilah-kabilah Arab. Islam yang berada di masanya untuk membaca dan melafadzkan Al Quran itu menurut lahjah (dialek) mereka masing-masing. Kelonggaran ini diberikan oleh Nabi Muhammad supaya mudah bagi mereka untuk menghafal Al Quran itu.
Tetapi kemudianya kelihatan tanda-tanda bahawa perbedaan tentang bacaan Al Quran ini kalau dibiarkan, akan mendatangkan perselisihan dan perpecahan yang tidak diinginkan dalam kalangan kaum muslimin. Orang yang mula-mula memperhatikan hal ini ialah seorang sahabat yang bernama Hudzaifah bin Yaman. Ketika beliau turut serta dalam pertempuran menakluki Armenia dan Azerbaijan, di dalam perjalanan beliau pernah mendengar pertikaian kaum muslimin tentang bacaan beberapa ayat Al Quran, dan juga pernah mendengar perkataan seorang muslim kepada temannya yaitu: "Bacaan ku lebih baik dari bacaan mu". Keadaan ini membimbangkan Hudzaifah. Maka apabila beliau telah kembali ke Madinah, beliau menemui khalifah Usman b in Affan r.a dan beliau menceritakan apa yang dilihatnya mengenai pertikaian kaum muslimin tentang bacaan Al Quran itu.
Huzaifah berkata kepada Usman: "Susulilah umat Islam itu sebelum mereka berselisih tentang Al Kitab, sepertimana perselisihan Yahudi dan Nasara".
Maka khalifah Usman r.a meminta kepada Hafsah binti Umar lembaran-lembaran Al Quran yang telah diikat itu, yang ditulis di masa khalifah Abu Bakar r.a, yang disimpan oleh Hafsah untuk disalin. Maka lembaran-lembaran tersebut diserahkan kepada khalifah Usman r.a oleh Hafsah. Seterusnya Khalifah Usman membentuk satu panitia yang terdiri daripada Zaid bin Tsabit sebagai ketua, Abdullah bin Zubair, Sa'id bin 'Ash dan Abdur Rahman bin Harits bin Hisyam. Panitia ini diberikan tugas untuk membukukan Al Quran, yaitu menyalin dari lembaran-lembaran tersebut, seterusnya menjadi buku (diikatkan). Dalam menjalankan tugas ini, khalifah Usman menasihatkan supaya:
Huzaifah berkata kepada Usman: "Susulilah umat Islam itu sebelum mereka berselisih tentang Al Kitab, sepertimana perselisihan Yahudi dan Nasara".
Maka khalifah Usman r.a meminta kepada Hafsah binti Umar lembaran-lembaran Al Quran yang telah diikat itu, yang ditulis di masa khalifah Abu Bakar r.a, yang disimpan oleh Hafsah untuk disalin. Maka lembaran-lembaran tersebut diserahkan kepada khalifah Usman r.a oleh Hafsah. Seterusnya Khalifah Usman membentuk satu panitia yang terdiri daripada Zaid bin Tsabit sebagai ketua, Abdullah bin Zubair, Sa'id bin 'Ash dan Abdur Rahman bin Harits bin Hisyam. Panitia ini diberikan tugas untuk membukukan Al Quran, yaitu menyalin dari lembaran-lembaran tersebut, seterusnya menjadi buku (diikatkan). Dalam menjalankan tugas ini, khalifah Usman menasihatkan supaya:
1. Mengambil pedoman kepada bacaan mereka yang hafal Al Quran
2. Kalau ada pertikaian antara mereka tentang bahasa (bacaan), maka haruslah ditulis menurut dialek suku Quraisy, sebab Al Quran itu diturunkan menurut dialek mereka.
Setelah tugas yang diamanahkan kepada panitia itu selesai maka mushaf Al Quran yang dipinjamkan daripada Hafsah itu dipulangkan semula kepada beliau. Al Quran yang dibukukan itu dinamakan "Al Mushhaf" dan seterusnya oleh panitia itu dituliskan lagi 5 buah Al Mushhaf. Empat buah di antaranya dikirimkan ke Mekah, Syria, Basrah dan Kufah, agar di tempat-tempat tersebut disalin pula dari masing-masing mushaff itu. Manakala satu buah lagi ditinggalkan di Madinah, untuk Usman sendiri dan itulah yang dinamai dengan "Mushhaf Al Imam".
Setelah itu khalifah Usman memerintahkan semua lembaran-lembaran Al Quran yang lain yang ditulis (selain daripada Al Mushhaf) dikumpulkan dan membakarnya. Maka dengan itu daripada mushhaf yang ditulis di zaman khalifah Usman itulah, kaum muslimin diseluruh pelosok menyalin Al Quran itu.
Sehingga sekarang masih wujud kelainan bacaan kerana bacaan-bacaan yang dirawikan dengan mutawatir dari Nabi Muhammad terus dipakai oleh kaum muslimin. Namun bacaan-bacaan tersebut tidaklah berlawanan dengan apa yang ditulis dalam mushhaf-mushhaf yang ditulis dimasa khalifah Usman. Dengan demikian, pembukuan Al Quran di masa khalifah Usman itu memberikan beberapa kebaikkan seperti :
Setelah itu khalifah Usman memerintahkan semua lembaran-lembaran Al Quran yang lain yang ditulis (selain daripada Al Mushhaf) dikumpulkan dan membakarnya. Maka dengan itu daripada mushhaf yang ditulis di zaman khalifah Usman itulah, kaum muslimin diseluruh pelosok menyalin Al Quran itu.
Sehingga sekarang masih wujud kelainan bacaan kerana bacaan-bacaan yang dirawikan dengan mutawatir dari Nabi Muhammad terus dipakai oleh kaum muslimin. Namun bacaan-bacaan tersebut tidaklah berlawanan dengan apa yang ditulis dalam mushhaf-mushhaf yang ditulis dimasa khalifah Usman. Dengan demikian, pembukuan Al Quran di masa khalifah Usman itu memberikan beberapa kebaikkan seperti :
1. Menyatukan kaum muslimin pada satu bentuk mushhaf yang seragam ejaan tulisannya.
2. Menyatukan bacaan, walaupun masih wujud kelainan bacaan, tetapi bacaan itu tidak berlawanan dengan ejaan mushhaf-mushhaf Usman. Manakala bacaan-bacaan yang tidak bersesuaian dengan mushhaf-mushhaf Usman tidak dibenarkan lagi.
3. Menyatukan tertib susunan surah-surah.
Akhirnya sampailah kepada kita sekarang dengan tidak ada sebarang perubahan sedikit pun dari bacaan, tulisan dari apa yang telah diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. Dari setiap masa dan zaman, Al Quran ini dihafal oleh jutaan umat Islam di Dunia. Ini adalah salah satu inayat Tuhan untuk menjaga Al Quran. Dengan itu terbuktilah firman Allah.
"Sesungguhnya Kami telah menurunkan Al Quran dan sesungguhnya Kami tetap memeliharanya." (Surah Al Hijr: 9)
"Sesungguhnya Kami telah menurunkan Al Quran dan sesungguhnya Kami tetap memeliharanya." (Surah Al Hijr: 9)
C. QIRO’ATI AL-QUR’AN
1. Pengertian Al-Qira’at
Secara bahasa qira’at merupakan kata jadian (mashdar) dari kata kerja qara’a (membaca), sedangkan menurut istilah Qira’at adalah perbedaan (cara mengucapkan) lafadz-lafadz alquran, baik menyangkut huruf-hurufnya atau cara pengucapan huruf-huruf tersebut, seperti takhfif (meringankan), tatsqil (memberatkan), dan atau yang alainnya.1
Ada tiga unsure dalam Qira’ati Al-qur’an, diantaranya adalah:
1. Qiro’at berkaitan dengan car pelafalan ayat-ayat Al-quran yang dilakukan salah seorang imam berbeda dengan cara yang dilakukan imam-imam lainnya.
2. Cara pelafalan ayat-ayat Al-qur’an itu berdasarkan atas riwayat yang bersambung kepada Nabi. Jadi, bersifat tauqifi, bukan ijtihadi.
3. Ruang lingkup perbedaan qira’at itu menyangkut persoalan lughat, hadzaf, i’rab, itsbat, fashl dan washl.
2. Latar Belakang Timbulnya Perbedaan Qira’at
a. Latar belakang historis
Menurut catatan sejarah, timbulnya penyebaran qira’at dimulai pada masa tabi’in, yaitu pada awal abad 11 H2 tatkala para Qari’ telah tersebar diberbagai pelosok. Mereka lebih suka mengemukakan qira’at gurunya dari pada mengikuti qiro’at imam-imam lainnya. Qiroat-qiroat tersebut diajarkan secara turun-temurun dari guru ke murid, sehingga sampai pada para imam qira’at, baik yang tujuh, sepuluh, atau yang empat belas.
Kebijakan Abu Bakar siddiq yang tidak mau memusnahkan mushaf-mushaf lain, selain yang telah disusun Zaid Bin Tsabit, seperti mushaf yang yang dimiliki Ibnu mas’ud, Abu Musa Al-asyari, Miqdad Bin Amar, Ubay Bin Ka’ab dan Ali Bin Abi Thalib, mempunyai andil besar dalam munculnya qira’at yang kian beragam. Perlu dicatat bahwa mushaf-mushaf itu tidak berbeda dengan yang disusum Zaid Bin Tsabit dan kawan-kawannya, kecuali dalm dua hal saja, yaitu: Kronologi surah dan sebagian bacaan yang merupakan penafsiran yang ditulis dengan lahdjah tersendiri. Hal ini karena mushaf-mushaf itu merupakan catatan pribadi mereka masing-masing.
Masih adanya mushaf-mushaf itu disertai dengan penyebaran para qari’ keberbagai penjuru, pada gilirannyamelahirkan sesuatu yang tidak diinginkan, yakni timbulnya qira’at yang semakin beragam.
Sesudah itu para imam menyusun kitab-kitab mengenai qira’at. Orang yang pertama kalimenyusun qira’at dalam satu kitab adalah Abu Ubaidah Al-qasim Bin Salam (w. 244 H). ia telah mengumpulkam qira’at sebanyak kurang lebih 25 macam. Kemudian menyusullah imam-imam lainnya, diantara mereka ada yang menetapkan 20 macam; dan ada pula yang menetapkan di bawah bilangan itu.3
b. Latara belakang cara penyampaian (kaifiyat al-ada’)
Menurut analisis yang disampaikan Sayyid Ahmad Khalil, perbedaan qira’at itu bermula dari bagaimana seorang guru membacakan qira’at itu bermula dari bagaiman seorang guru membacakan qiroat itu kepada murid-muridnya. Hal itu mendorong beberapa ulama mencoba merangkum bentuk-bentuk perbedaan cara melafalkan Al-qur’an itu sebagai berikut:
a. Perbedaan dalam I’rab atau harakat kalimat tanpa perubahan makna dan bentuk kalimat.
b. Perbedaan pada I’rab dan harakat (baris) kalimat sehingga mengubah maknanya.
c. Perbedaan pada huruf tanpa perubahan I’rab dan bentuk tulisannya, sedangkan maknanya berubah.
d. Perubahan pada kalimat dengan perubahan pada bentuk tulisannya, tetapi maknanya tidak berubah.
e. Perbedaan pada kalimat yang menyebabkan perubahan bentuk dan maknanya
f. Perbedaan dalam mendahulukan dan mengakhirkannya.
g. Perbedaan dengan menambah dan mengurangi huruf.
3. Penyebab Perbedaan Qira’at
a. Perbedaan Qira’at Nabi
Artinya dalam mengajarkan Al-qur’an kepada para sahabatnya, nabi memakai beberapa versi qira’at.
b. Pengakuan dari nabi terhadap berbagai qira’at yang berlaku dikalangan kaum muslimin waktu itu. Hal ini menyangkut dialek diantara mereka dalam mengucapkan kata-kata di dalam Al-Qur’an.
c. Adanya riwayat dari para sahabat Nabi menyangkut dari berbagai versi qira’at yang ada.
d. Adanya lahjah atau dialek kebahasaan dikalangan bangsa Arab pada masa turunnya A-qur’an.
4. Macam-Macam Qira’at
a. Dari segi kualitas
· Qira’at Sab’ah (Qira’ah Tujuh) kata sab’ah itu sendiri maksudnya adalah imam-imam qira’ah yang tujuh.
· Qira’at ‘Asyrah (qira’ah Sepuluh).
· Qira’at ‘Arba’at Asyrah (Qira’at Empat Belas)
b. Dari segi kualitas
Berdsarkan penelitian Al-Jazari, berdasarkan kualitasa, qira’ah dapat dikelompokkan dalam lima bagian, diantaranya adalah:
· Qira’ah Mutawatir,
Yakni yang disampaikan sekelompok orang, melalui dari awal sampai akhir sanad, yang tidak mungkin bersepakat untuk berbuat dusta.
· Qira’ah masyhur,
Yakni qira’ah yang memiliki sanad shahih, tetapi tidak sampai pada kualitas mutawatir. Qira’at ini sesuai dengan kaidah bahasa Arab dan tulisan mushaf ‘Utsmani, masyhur dikalangan qurra’, dibaca sebagaimana ketentuan yang telah ditetapkan Al-jazari, dan tidak termasuk qira’ah yang keliru.
· Qira’ah ahad,
Yakni yang memiliki sanad sahih, tetapi menyalahi tulisan mushaf Usmani dan kaidah bahasa Arab, tidak memiliki jemasyhuran, dan tidak dibaca sebagaimana ketentuan yang telah ditetapkan Al-Jazari.
· Qira’ah Syadz (menyimpang),
Yakni Qira’at yang sanadnya tidak shahih. Telah banyak kitab yang ditulis untuk jenis qira’at ini.
· Qira’at maudhu’ (palsu), seperti qira’at Al-khazzani.
As-Suyuti kemudian menambah qira’at yang keenam.
Qira’ah yang menyerupai hadist mudraj (sisipan),
· Yakni adanya sisipan pada bacaan dengan tujuan penafsiran.
Tolak ukur yang dijadikan pegangan para ulama dalam menetapkan qira’ah shahih adalah sebagai berikut:
1. Bersesuaian dengan kaidah bahasa Arab, baik yang fasih atau paling fasih.
2. Bersesuaian dengan salah satu kaidah penulisan mushaf Utsman walaupun hanya kemungkinan.
3. Memiliki sanad yang sahih.
KESIMPULAN
Tulis menulis di kalangan orang Arab jahiliyah amat sedikit. Yang mula-mula belajar menulis di antara orang Arab ialah Basyr ibn Abdil Malik saudara ‘Ukaidir Daumah.
Para ulama mengenai tulisan ‘Utsmany itu (mengenai kemestian kita mengikuti resam ‘utsmany) dalam menulis Al Qur’an mempunyai tiga pendapat.
a. Tidak dibolehkan sekali-kali kita menyalahi Khath ‘Utsmany, baik dalam menulis waw, maupun dalam menulis alif, menulis ya atau lainnya.
b. Tulisan Al Qur’an itu bukan tulisan taufiqi, bukan demikian diterima oleh syara’. Tulisan yang sudah ditetapkan itu, tulisan yang dimufakati menulisnya di masa itu.
c. Pengarang At Tibyan dan pengarang Al Burhan memilih pendapat yang dipahamkan dari perkataan Ibnu ‘Abdis Salam, yaitu kebolehan kita menulis Al Qur’an untuk umum manusia menurut istilah-istilah yang dikenal oleh mereka dan tidah diharuskan kita menulis menurut tulisan lama, karena ditakutkan akan meragukan mereka. Dalam pada itu haruslah ada orang yang memelihara tulisan lama sebagai suatu barang pusaka.
Secara bahasa qira’at merupakan kata jadian (mashdar) dari kata kerja qara’a (membaca), sedangkan menurut istilah Qira’at adalah perbedaan (cara mengucapkan) lafadz-lafadz alquran, baik menyangkut huruf-hurufnya atau cara pengucapan huruf-huruf tersebut, seperti takhfif (meringankan), tatsqil (memberatkan), dan atau yang alainnya.
Ketika Nabi Muhammad wafat, Al Quran itu telah sempurna diturunkan dan telah dihafal oleh ribuan manusia, dan telah dituliskan semua ayat-ayatnya. Ayat-ayat dan surah-surahnya telah disusun menurut tertib urut yang dipertunjukkan sendiri oleh Nabi Muhammad. Mereka telah mendengar Al Quran itu dari mulut Nabi Muhammad berkali-kali, dalam shalat, dalam pidato-pidato baginda, dalam pelajaran-pelajaran dan lain-lain, sebagaimana Nabi Muhammad sendiripun telah mendengar pula dari mereka. Dalam makna lain, Al Quran adalah dijaga dan terpelihara dengan baik, dan Nabi Muhammad telah mengadakan satu kaedah yang amat praktis untuk memelihara dan menyiarkan Al Quran itu, sesuai dengan keadaan bangsa Arab Islam ketika itu.
DAFTAR PUSTAKA
Prof. Dr. T. M. Hasbi Ash Shiddieqy, 1980, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al Qur’an/Tafsir, Jakarta : Bulan Bintang
Drs. Rosihon Anwar, M.Ag, 2000, Ulumul Qur’an Untuk IAIN, STAIN, PTIS, Bandung: Pustaka Setia
Rujukan : Al Quran dan Terjemahannya - Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al Quran Indonesia
http://nabimuhammad.info/2010/06/i-sejarah-teks-al-quran-penyebab-munculnya-ragam-bacaan-1115/http://apakataanda.smfforfree3.com/index.php?topic=8.0
Tidak ada komentar:
Posting Komentar