Kamis, 02 Desember 2010

METODE ISTIQRA’I

Pengertian Istiqra’
Istiqra’ secara etimologi berarti pengikutsertan, terus-menerus (at-tatabu’). Dalam istilah populer, istiqra’ disebut juga dengan Induksi (kebalikan dari deduksi) yaitu sebuah metode pemikiran yang bertolak dari suatu kekhususan menuju pada yang umum, kadang-kadang juga bertolak dari yang kurang umum menuju pada yang lebih umum.
14
Dalam istilah ilmu hukum Islam, istiqra’ (induksi) adalah sebuah metode pengambilan kesimpulan umum yang dihasilkan oleh fakta-fakta khusus yang digunakan oleh ahli-ahli Fiqh untuk menetapkan suatu hukum, metode ini tertuang dalam Usul Fiqih dan Qowaid Al-Fiqhiyah yang pernah diapliasikan oleh Imam Asy-Syafi’i dalam menentukan waktu lamanya menstrusi bagi wanita.
Menurut ahli mantiq, istiqra’ adalah menarik kesimpulan umum berdasarkan karakterisik satuan-satuannya. Definisi yang serupa dikemukakan oleh Ibnu Sina (w. 428 H/1037 M) dengan menambahkan, jika kesimpulan itu disasarkan atas kesamaan karakteristik semua satuannya disebut Istiqra’ tamm (induksi sempurna) dan jika didasarkan atas kesamaan karakteristik mayoritas satuannya disebut Istiqra’ Masyhur atau Istiqra’ Naqis (induksi tidak sempurna).
Istiqra’ Tamm biasanya ditemukan dalam penelitian ilmu-ilmu kealamian yang karakteristik objek-objeknya yang diteliti bersifat konstan, sedangkan istiqra’ masyhur sering ditemukan dalam kajian ilmu-ilmu sosial, termasuk ilmu agama. Dalam ilmu agama, obyek kajiannya adalah al-Qur’an, hadis, dan pendapat para ulama’ yang memiliki otoritas. Adanya istilah istiqra’ masyhur ini didalam ilmu-ilmu sosial disebabkan karakteristik tingkah laku manusia dan pranata sosial tidak konstan, begitu pula makna (dilalah) ayat al-Qur’an dan hadis riwayat yang mendukung jarang disepakati kepastian maknanya. Karena itu, hanya dapat dilakukan dengan istiqra’ masyhur yang menghasilkan kesimpulan zanni (kemungkinan besar benar).
Di kalangan ahli usul fiqh, metode induksi (manhaj istqra’iyah) digunakan antara lain, dalam menetapkan suatu kaedah umum untuk membahas persoalan-persoalan hukum atau menetapkan hukum fiqh ‘amaly (praktis) : apakah persoalan itu wajib, sunah, mubah, makruh, haram, halal, sah, batal atau fasid. Hukum yang dihasilkan oleh istiqra’ tamm adalah qat’I (pasti, tidak bisa dibantah) dan hukum dari kesimpulan yang dihasilkan istiqra’ masyhur adalah zanni, sebagaimana hukum yang terdapat pada kitab-kitab fiqh pada umumnya.
Metode istiqra’ pada dasarnya merupakan bagian dari kerja Epistimologi, yaitu dengan menjadikan teks al-Qur’an dan Hadis sebagaimana rujukan utama yang otoritatif sebagai landasan membangun pengetahuan, untuk mendapatkan pengetahuan dari teks ada dua cara, yaitu (1) berpegang pada teks zahir dan (2) berpegang pada maksud atau sasaran teks.
Dalam sejarah pemikiran Islam, kecenderungan epistemologi tekstualis diperlihatkan oleh as-Syafi’i (150-204/767-820), sebagai guru arsitek ilmu usul fiqh dan asy-Syafi’i inilah yang disebut-sebut sebagai peletak dasar epistemologi bayani. Adapun kecenderungan yang kedua yaitu berpegang pada maksud umum teks (maqasid as-Syari’ah) yang berawal dari prakasa Abu Ishaq Asy-Syatibi yang berpendapat bahwa metode induktif tematik atau Istiqra’ al-ma’nawi adalah salah satu metode yang paling tepat untuk mengidentifikasikan maqasid asy-Syari’ah, yaitu dengan model pengambilan kesimpulan premis umum dari sekumpulan dalil-dalil nas yang berserakan.
Prof. Dr. Muh. Zuhri dalam karyanya Telaah Matan Hadis sebuah tawaran metodologi mengatakan bahwa induksi yang dalam ushul fiqh dikenal dengan ijtihad Istiqra’i adalah sebuah teori yang menempatkan teks sebagai data empiri yang terbentang bersama teks-teks yang lain agar “berbicara sendiri” untuk selanjutnya ditarik sebuah kesimpulan. Teks yang dimaksudkan az-Zuhri di sini adalah al-Hadis Nabi SAW.
Asal Mula Munculnya Metode Istiqra’i
Pada awalnya para ahli hukum Islam mendefinisikan hukum Islam sebagai ilmu dan hukum Islam sebagai produk ilmu. Hukum Islam sebagai produk ilmu disebut dengan kumpulan hukum-hukum syara’ yang dihasilkan melalui ijtihad, sedangkan hukum Islam sebagai ilmu didefinisikan sebagai ilmu yang mengupayakan lahirnya hukum syara’ ‘amali dari dalil-dalil rinci. Hukum Islam sebagi ilmu dibuktikan dengan karakteristik keilmuan yaitu bahwa hukum Islam (1) dihasilkan dari akumulasi-akumulasi pengetahuan yang tersusun melalui asas-asas tertentu, (2) pengetahuan-pengetahuan itu terjaring dalam satu kesatuan sistem dan (3) mempunyai metode-metode tertentu.
Pengetahuan-pengetahuan dalam hukum Islam meliputi pengetahuan tentang dalil (al-Qur’an, hadis dan sebagainya), perintah, larangan dan lain-lain. Pengetahuan-pengetahuan ini diakumulasikan melalui asas-asas tertentu, misalnya asas tasyri’. Pengetahuan-pengetahuan tersebut dapat diakumulasikan dan disusun dengan baik karena setiap pengetahuan satu sama lain terkait secara fungsional dalam suatu sistem tertentu. Untuk karakteristik selanjutnya dalam hukum Islam terdapat beberapa metode, yang metode-metode tersebut tertuang dalam usul fiqh dan qowaid al-fiqhiyah yang dalam operasionalnya meliputi :
Metode deduktif (Istinbati)yaitu metode penarikan kesimpulan khusus (mikro) dari dalil-dalil umum. Metode ini dipakai untuk menjabarkan atau untuk menginterpretasikan dalil-dalil al-Qur’an dan hadis menjadi masalah-masalah usul fiqh.
Metode induktif (istiqra’i) adalah metode pengambilan kesimpulan umum yang dihasilkan dari fakta-fakta khusus. Metode ini juga dipergunakan oleh ahli-ahli fiqh untuk menetapkan suatu hukum atas masalah-masalah yang tidak disebutkan secara jelas dan rinci atas ketentuannya dalam nas al-Qur’an dan hadis.
Metode genetika (takwini), adalah metode penelusuran atau cara berfikir untuk mencari kejelasan suatu masalah dengan melihat sebab-sebab terjadinya, atau melihat sejarah kemunculan masalah tersebut. Metode ini banyak digunakan oleh ulama’ ahli hadis dalam meneliti status hadis dari segi riwayah dan dirayahnya.
Metode dialektika (jadali) adalah suatu metode yang menggunakan penalaran melalui pertanyaan-pertanyaan atau pernyataan-pernyataan yang bersifat tesa (tesis-tesis) dan anti tesis. Kedua pernyataan (tesa dan anti tesa) tersebut kemudian didiskusikan dengan prinsip-prinsip logika yang logis untuk memperoleh kesimpulan. Dasar-dasar metode ini banyak ditulis dalam kitab-kitab Adab al-Ba’ts wa al-Munazarah.
Metode penggalian hukum induktif pada dasarnya sudah dilakukan oleh ilmuan Yunani dulu. Metode ini diadopsi oleh pemikir-pemikir Islam dari filsafat Aristoteles dengan mengedepankan rasional-filosofis.
Pemikiran filsafat Aristoteles berkembang di wilayah Islam bagian barat, yang kemudian dijadikan landasan epistemologi keilmuan, termasuk juga disiplin ilmu hukum Islam. Kerangka berfikir Aristoteles ini terkenal di dunia Islam dengan istilah nalar Burhani, yaitu sebuah pemikiran dengan mengedepankan logika dalam artian berusaha untuk menganalisis ilmu sampai pada prinsip-prinsip dan dasar-dasarnya yang terdalam. Adapun untuk mencapai itu terlebih dahulu harus memahami dan mendalami syllogisme. Syllogisme pada dasarnya terdiri dari beberapa propinsi yang disebut dengan premis mayor, premis minor dan konklusi. Hal ini berarti bahwa penyimpulan yang bersifat konklusif tidak bisa terjadi apabila hanya terdiri dari satu premis. Disamping itu dua premis tersebut harus mengandung satu term yang sama.
Premis-premis dalam syllogisme di atas menurut Aristoteles sebenarnya didapat dengan cara induktif (istiqra’i) dari realitas empiris yang ada, melalui proses abstraksi. Benda-benda dan peristiwa-peristiwa parsial dan empiris pada dasarnya masing-masing memiliki kandungan yang universal, yang dapat disatukan antara satu dengan yang lainnya yang sejenis. Proses abstraksi ini tidak lain merupakan hasil dari penalaran akal.
Cara induksi Aristoteles ini pada awalnya muncul berkaitan dengan hukum alam yaitu bertolak dari pengamatan induktif atas beberapa fenomena yang terdapat di alam, sebelum akhirnya sampai pada satu kesimpulan umum yang mencakup segenap fenomena partikularitas lainnya. Hukum alam pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan hukum syari’ah, jadi dalam masalah syari’ahpun bisa dilakukan hal yang serupa yaitu dengan cara menjadikan nas-nas yang jelas (al-Qur’an dan hadis) seperti halnya fenomena-fenomena alam yang jelas, yang dinyatakan sebagai satu data dari sekian data-data agama yang tidak bisa diubah atau diganti. Bila tidak ada nas yang jelas maka kewajiban seorang muslim adalah mencari dan merumuskan satu “dalil” atau pembuktian rasional, yakni dengan cara meneliti secara induktif (istiqra’) terhadap teks-teks agama, lalu dijadikan premis-premis yang kemudian digunakan untuk menarik satu kesimpulan hukum.
Dalam pemikiran hukum syari’ah pada awalnya dipelopori oleh Ibnu Hazm, kemudian dimatangkan oleh Ibnu Rusyd, kemudian dilanjutkan oleh asy-Syatibi dalam kerangka proyek pembaruannya dalam disiplin usul fiqh. Ibnu Hazm menyatakan bahwa dasar hukum itu hanya ada empat yakni al-Qur’an, sunah, ijma’ dan ad-dalil (argumentasi akal). Ad-dalil yang dimaksudkan Ibnu Hazm adalah metode penetapan hukum dengan cara meneliti secara induktif teks-teks syari’ah, lalu menarik satu kesimpulan hukum darinya. Ad-Dalil di sini harus memuat dua premis, yang terdiri darn empat macam. Pertama, dua premis tersebut merupakan teks syari’ah, seperti sabda Nabi “Setiap yang memabukkan adalah khomr, dan setiap khamr adalah haram”, maka dapat disimpulkan bahwa setiap yang memabukkan adalah haram. Kedua, dua premis yang salah satunya merupakan teks syari’ah dan yang lainnya adalah postulat logika aprion. Misalnya firman Allah “dan (apabila) kedua orang tuanya yang mewarisi, maka bagi ibu sepertiga” maka teks syari’ah ini menjadi premis minor, sementara premis mayornya adalah ketetapan logika bahwa bilangan menjadi bulat, satu bagian apabila sepertiga itu ditambah dengan dua pertiga. Maka dengan demikian bila ibu mendapat sepertiga, sementara ahli warisnya hanya bapak dan ibu, maka bapak menurut logika yang pasti mendapatkan dulu pertiga.
Ketiga, dua premis yang salah satunya merupakan hasil ijma’ dan lainnya adalah perintah syari’ah untuk mentaati ijma’ tersebut, maka konklusinya adalah ketetapan ijma’ misalnya ijma’ umat Islam bahwa darahnya Zaid terjaga karena dia Islam, maka dengan perintah syari’ah untuk mentaati ijma’ tersebut dapat disimpulan bahwa ijma’ yang menyatakan darahnya Zaid tersebut harus ditaati dan tidak boleh menyelisihinya.
Keempat, dua premis yang salah satunya merupakan ketetapan syari’ah yang umum, dan yang lainnya adalah kondisi atau peristiwa spesifik yang merupakan cabang dari ketetapan umum syari’ah tersebut. Misalnya ketetapan umum syari’ah yang menyatakan bahwa tergugat harus bersumpah (pembuktian bagi penggugat dan sumpah bagi tergugat) yang menjadi premis mayor, kemudian Zaid menggugat Umar dalam masalah utang piutang (sebagai premis minor), maka konklusinya adalah Umar harus memberikan sumpahnya bila menyangkal gugatan itu.
Abu Ishaq asy-Syatibi, seorang ilmuan hukum Islam Andalusia abad 8 H, yang pemikirannya dipandang sebagai puncak kemasan pemikiran hukum Islam, khususnya dalam bidang ushul fiqh. Pemikiran metodologi hukum Islam asy-Syatibi terletak pada dua macam metode, yaitu penyimpulan dengan syllogisme atau al qiyas al jami’ dan metode induksi (istiqra’i) yang keduanya mengacu pada maqasid asy-syari’ah (tujuan akhir syari’ah). Asy-Syatibi inilah yang mengembangkan sekaligus mempopulerkan metode induksi (istiqra’i) dalam hukum Islam.
Diriwayatkan bahwa pada masa asy-Syatibi jarang sekali ulama’ yang mendalami bidang ushul fiqh. Dari kenyataan itulah asy-Syatibi melihat kelemahan institusi fiqh dalam menghadapi perkembangan sosial yang sering mandek dalam usaha pemecahan hukumnya. Berangkat dari kondisi yang demikian asy-Syatibi mulai mendalami ushul fiqh dan menyusun bukunya yang terkenal yaitu al-Muwafaqat fi Usul asy-Syari’ah.
Karya gemilang asy-Syatibi tersebut merupakan bukti adanya pembaharuan pemikiran dalam hukum Islam. Karya tersebut muncul sebagai jawaban dari tantangan perubahan sosial yang menghendaki pemikiran hukum yang sesuai dengan kondisi pada masa itu.
Para ulama’ terdahulu pada umumnya berfikir secara deduktif dalam mengkaji agama, artinya dalil-dalil dari ayat-ayat al-Qur’an harus ditempatkan sebagai teori, kemudian dinalar secara deduktif, ditafsirkan dan ditakwilkan sesuai dengan alam pikiran masing-masing ulama’. Semakin luas pengetahuan seorang ulama’, uraian deduktifnya semakin menarik. Akan tetapi menurut sebagian ulama’, metode tersebut bukanlah cara yang tepat karena pada intinya pemikir-pemikir muslim, terlebih dibidang teologi dan filsafat dengan metode berfikir deduktif, mereka dalam memahami nas wahyu dengan membawa bingkai pemikiran tertentu, akibatnya nas wahyu dicocokkan dengan bingkai tersebut. Hal ini juga sangat memungkinkan terjadi perbedaan pendapat dalam memahami dan menafsirkan nas tersebut, sehingga tidak jarang ketika metode tersebut dihadapkan pada persoalan-persoalan baru yang terjadi hanyalah ketidak pastian hukum.
http://dodi-rasionalqolbi.blogspot.com/2010/06/seputar-metode-istiqra.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar