Selasa, 07 Desember 2010

ushul fiqh(MASLAHAH-MURSALAH)


pertama kali diperkenalkan oleh Imam Malik (W. 97 H.), pendiri mazhab Malik.
Namun karena pengikutnya yang lebih akhir mengingkari hal tersebut, maka setelah
abad ketiga hijriyah tidak ada lagi ahli usul fiqih yang menisbatkan maslahahmursalah
kepada Imam Malik, sehingga tidak berlebihan jika ada pendapat yang
menyatakan bahwa teori maslahah-mursalah ditemukan dan dipopulerkan oleh
ulama-ulama usul fiqih dari kalangan asy-Syafi’iyah yaitu Imam al-Haramain al-
Juwaini (w. 478 H.), guru Imam al-Ghazali. Dan menurut beberapa hasil penelitian,
ahli usul fiqih yang paling banyak membahas dan mengkaji maslahah-mursalah
adalah Imam al-Ghazali yang dikenal dengan sebutan hujjatul Islam.
Imam Malik oleh penulis muslim digolongkan ke dalam golongan sahabat
kecil, karena di waktu kecilnya, dia sempat bertemu dengan Rasulullah. Imam Malik
merupakan salah seorang imam mujtahid yang empat (Malik, Hanafi, asy-Syafi’i dan
Hambali) yang sempat bertemu dan belajar banyak kepada para sahabat Nabi.
Imam Malik tinggal di Madinah, pusat pemerintah Islam waktu itu. Karena
Madinah merupakan pusat pemerintahan Islam dan tempat tinggalnya Nabi setelah
hijrah dari Makkah, maka Madinah dikenal pula dengan sebutan kota hadist. Dalam
rangka menyelesaikan persoalan-persoalan hukum baru yang dihadapi oleh
masyarakat muslim waktu itu, Imam Malik mencari hukumnya di dalam al-Qur’an,
dan jika tidak menemukannya dalam al-Qur’an, maka Imam Malik mencarinya di
dalam as-Sunnah Nabi, dan apabila di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah tidak
ditemukan, maka dia mendasarkan pendapatnya kepada ijma’ para sahabat, dan
apabila ijma’ para sahabat tidak ada mengenai masalah (hukum) tersebut, maka Imam
Malik mengaggali hukum (istinbath) dengan cara ber-ijtihad. Sedangkan metode
ijtihad yang dipakai oleh Imam Malik dalam rangka menggali hukum (istinbath) ada
dua yaitu; qiyas dan istislah atau maslahah-mursalah.
  • Metode qiyas dipraktekkan atau digunakan oleh Imam Malik apabila ada nass
tertentu, baik al-Qur’an maupun as-Sunnah yang mendasarinya.
  • Metode istislah atau maslahah-mursalah dipraktekkan oleh Imam Malik apabila masalah(hukum) yang sedang dihadapi, tidak ada satupun nass yang mendasarinya, baik yang membenarkan maupun yang melarangnya, bahkan dalam kasus-kasus tertentu, Imam Malik menggunakan metode maslahah-mursalah dalam men-takhsis ayat-ayat al-Qur’an yang bersifat umum.
Dan yang menjadi bahasan di sini hanya metode istislah atau maslahah-mursalah. Lalu apa yang dimaksud dengan maslahah-mursalah?
Pengertian maslahah-mursalah
Kata maslahah yang dalam Bahasa Indonesia dikenal dengan maslahat,berasal dari Bahasa Arab yaitu maslahah. Maslahah ini secara bahasa atau secara etimologi berarti manfaat, faedah, bagus, baik, kebaikan, guna atau kegunaan. Maslahah merupakan bentuk masdar (adverd) dari fi’il (verb) salaha. Dengan demikian terlihat bahwa, kata maslahah dan kata manfaat yang juga berasal dari Bahasa Arab mempunyai makna atau arti yang sama.
Sedangkan menurut istilah atau epistemology, maslahah diartikan oleh par      a ulama Islam dengan rumusan hampir bersamaan, di antaranya al-Khawarizmi (w. 997 H.) menyebutkan, maslahah adalah al-marodu bil-maslahatil-mukhaafazatu ‘ala maqsudi-syar’i bidaf’i-l mufaasidi ‘ani-l- kholqi, yaitu memelihara tujuan hukum Islam dengan menolak bencana/kerusakan/hal-hal yang merugikan diri manusia (makhluq). Sedangkan ulama telah berkonsensus, bahwa tujuan hukum Islam adalah untuk memelihara agama, akal, harta, jiwa dan keturunan atau kehormatan. Tidak jauh berbeda dengan al-Khawarizmi di atas, al-Ghazali merumuskan maslahah sebagai suatu tindakan memlihara tujuan syara’ atau tujuan hukum Islam, sedangkan tujuan hukum Islam menurut al-Ghazali adalah memelihara lima hal di atas. Setiap hukum yang mengandung tujuan memelihara salah satu dari lima hal di
atas disebut maslahah, dan setiap hal yang meniadakannya disebut mafsadah, dan
menolak mafsadah disebut maslahah. Sedangkan menurut asy-Syatibi dari golongan mazhab Malikiyah sebagai orang yang paling popular dan kontropersi pendapatnya tentang maslahah-mursalah  mengatakan bahwa maslahah itu (maslahat yang tidak ditunjukkan oleh dalil khusus yang membenarkan atau membatalkan) sejalan dengan tindakan syara’.
Berdasarkan beberapa buah definisi di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa maslahah-mursalah merupakan suatu metode ijtihad dalam rangka menggali hukum (istinbath) Islam, namun tidak berdasarkan kepada nass tertentu, tetapi berdasarkan kepada pendekatan maksud diturunkannya hukum syara’ (maqosid asysyari’ah). Penetapan hukum Islam melalui pendekatan maqosid asy-syari’ah merupakan salah satu bentuk pendekatan dalam menetapkan hukum syara’ selain melalui pendekatan kaidah kebahasaan yang sering digunakan oleh para ulama. Jika dibandingkan penetapan hukum Islam melalui pendekatan maqosid asy-syari’ah dengan penetapan hukum Islam melalui pendekatan kaidah kebahasaan, maka penetapan hukum Islam melalui pendekatan maqosid asy-syari’ah dapat membuat hukum Islam lebih flexible, luwes karena pendekatan ini akan menghasilkan hukum Islam yang bersifat kontekstual. Sementara pengembangan hukum Islam melalui pendekatan kaidah kebahasaan akan menghilangkan jiwa flexibelitas hukum Islam.
Hukum Islam akan kaku (rigid), sekaligus akan kehilangan nuansa kontekstualnya.Dengan pemahaman seperti di atas, seharusnya maslahah-mursalah yang
nota-bene-nya merupakan salah satu metode istinbath hukum yang menggunakan pendekatan maqosid asy-syari’ah, mestinya dapat diterima oleh umat Islam sebagai dasar dalam menetapkan hukum Islam. Tetapi mengapa masalah mursalah tidak diterima oleh sebagian umat Islam, khususnya mayoritas penganut mazhab asy- Syafi’iah sebagai dasar penetapan hukum Islam. Dalam hal ini ada beberapa argumen yang mereka ajukan di antaranya yaitu;
ü  Pertama, masalahat itu ada yang dibenarkan oleh syara’, ada yang ditolak
oleh syara’ dan ada pula yang diperselisihkan. Maslahat kategori pertama dan
kategori kedua (yang dibenarkan dan yang ditolak oleh syara’) tidak ada pertentangan
di kalangan umat Islam. Maslahat kategori pertama harus diterima sebagai dasar
penetapan hukum Islam, dan maslahat kategori kedua harus ditolak sebagai dasar
penetapan hukum Islam. Sedangkan maslahat kategori ketiga diperselisihkan,
sebagian menerima sebagai dasar penetapan hukum Islam, dan sebagian yang lain
menolaknya. Sesuai dengan definisi di atas, maslahat kategori ketiga inilah yang
menjadi kajian dari maslahah-mursalah atau istislah. Dengan demikian menurut
kelompok umat Islam yang tidak menerima maslahah-mursalah sebagai dasar
penetapan hukum Islam berpendapat, bahwa memandang maslahah-mursalah
(kategori ketiga) sebagai hujjah berarti mendasarkan penetapan hukum Islam kepada
sesuatu yang meragukan.
ü  Kedua, memandang maslahah-mursalah sebagai hujjah berarti menodai
kesucian hukum Islam karena penetapan hukum Islam tidak berdasarkan kepada
nass-nass tertentu, tetapi hanya mengikuti keinginan hawa nafsu belaka dengan dalih
maslahat. Dengan dalih maslahat dikhawatirkan akan banyak penetapan hukum Islam
berdasarkan kepada kepentingan hawa nafsu.
ü  Ketiga, bagi golongan ini, hukum Islam telah lengkap dan sempurna. Dengan
menjadikan maslahat sebagai dasar dalam menetap hukum Islam, berarti umat Islam
tidak mengakui prinsip kelengkapan dan kesempurnaan hukum Islam. Artinya hukum
Islam belum lengkap dan sempurna, masih ada yang kurang.
ü  Keempat, memandang maslahat sebagai hujjah akan membawa dampak
terjadinya perbedaan hukum Islam terhadap masalah yang sama (disparitas)
disebabkan perbedaan kondisi dan situasi. Dengan demikian akan menafikan prinsip
universalitas, keluasan dan fleksibelitas hukum Islam.
Alasan-alasan yang dikemukakan oleh sekelompok umat Islam yang tidak
menerima maslahat (kategori ketiga) sebagai dasar menetapkan hukum Islam di atas,
dapat disanggah dengan beberapa alasan.
  • Pertama, dengan memandang maslahat sebagai hujjah tidak berarti
mendasarkan penetapan hukum Islam kepada sesuatu yang meragukan, sebab
maslahat tersebut ditentukan lewat sekian banyak dalil dan pertimbangan, sehingga
menghasilkan zann yang kuat (sesuatu yang lemah menjadi kuat). Dalam ilmu fiqih
dikenal istilah yakfi al-‘amal biz-zann, beramal berdasarkan kepada zann dianggap
cukup karena semua fiqih adalah zann.
Dengan demikian tidak dapat dikatakan bahwa menjadikan maslahat kategori
ketiga sebagai hujjah berarti memilih dua kemungkinan tanpa dalil, karena jika
dibandingkan maslahat yang dibenarkan oleh syara’ dengan maslahat yang ditolak
oleh syara’, maka maslahat yang dibenarkan oleh syara’ jauh lebih banyak
jumlahnya dari pada maslahat yang ditolak oleh syara’. Dengan demikian jika ada
suatu kemaslahatan, tetapi tidak ada dalil yang membenarkannya atau menolaknya,
maka maslahat tersebut harus digolongkan ke dalam maslahat yang lebih banyak.
  • Kedua, tidak benar kalau penetapan hukum Islam melalui metode istislah
atau maslahah-mursalah berarti menetapkan hukum Islam berdasarkan kepada hawa
nafsu, karena untuk dapat dijadikan sebagai hujjah, maslahah-mursalah harus
memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu (bahasan dibawah). Jadi tidak asal
maslahat. Persyaratan inilah yang akan mengendalikan, sehingga tidak terjadi
penyalahgunaan dalam menetapkan hukum (Islam) berdasarkan kepada maslahat.
  • Ketiga, Islam memang telah lengkap dan sempurna, tetapi yang dimaksud
dengan lengkap dan sempurna itu adalah pokok-pokok ajaran dan prinsip-prinsip
hukumnya. Jadi tidak berarti semua masalah ada hukumnya. Ini terbukti banyak
sekali masalah-masalah baru yang belum disinggung hukumnya oleh al-Qur’an dan
as-Sunnah tetapi baru diketahui setelah digali melalui ijtihad.
  • Keempat, tidak benar kalau memandang maslahah-mursalah sebagai hujjah
akan menafikan prinsip universalitas, keluasan dan keluwesan (flexible) hukum Islam,
tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Dengan menggunkan metode masalah-mursalah
dalam menetapkan hukum, prinsip universalitas, keluasan dan keluwesan (flexible)
hukum Islam dapat dibuktikan.
Dengan demikian terlihat bahwa beberapa alasan yang dikemukakan oleh
sekelompok umat Islam yang tidak menerima maslahah-mursalah sebagai dasar
dalam menetapkan hukum Islam, sama sekali tidak logis dan tidak realistis.
Sebagaimana disebutkan di atas, maslahat tersebut ada yang dibenarkan oleh
syara’, ada yang tidak dibenarkan oleh syara’ dan ada pula yang diperselisihkan,
artinya tidak diketahui, apakah dibenarkan atau ditolak oleh syara’. Dalam hal ini
para ulama berkonsensus, bahwa maslahat yang dibenarkan oleh syara’ dapat
dijadikan dasar dalam menetapkan hukum Islam, dan maslahat yang ditolak oleh
syara’ tidak dapat dijadikan sebagai dasar dalam menetapkan hukum Islam.
Sedangkan masalahat kategori ketiga, hal inilah yang diperdebatkan oleh umat Islam,
dan sebagaimana disebutkan di atas, inilah yang menjadi kajian dari teori maslahahmursalah, karena itu sebagain ulama (pendukung teori maslahah-mursalah) membuat persyaratan penggunakan maslahah-mursalah dalam menetapkan hukum Islam, di samping itu mereka juga membuat rung lingkup operasional maslahah-mursalah.
Persyaratan dan Ruang Lingkup Maslahah-Mursalah
Agar maslahah-mursalah dapat diterima sebagai dasar dalam menetapkan
hukum Islam maka para Imam Mujtahid, di antaranya Imam al-Ghazali, asy-Syatibi
fan at-Tufi membuat rersyaratan dan ruang lingkup operasional maslahah-mursalah.
Persyaratan yang mereka buat berbeda satu sama lain, namun ruang lingkup
operasionalnya mereka mempunyai pendapat yang sama sebagaimana terlihat dalam
bahasan di bawah ini.
Al-Ghazali membuat batasan operasional maslalah-mursalah untuk dapat
diterima sebagai dasar dalam menetapkan hukum Islam; pertama, maslahat tersebut
harus sejalan dengan tujuan penetapan hukum Islam yaitu memelihara agama, jiwa,
akal, harta dan keturunan atau kehormatan. Kedua, maslahat tersebut tidak boleh
bertentangan dengan al-Qur’an, as-Sunnah dan ijma’. Ketiga, maslahat tersebut
menempati level daruriyah (primer) atau hajiyah (sekunder) yang setingkat dengan
daruriyah. Keempat, kemaslahatannya harus berstatus qat’i atau zann yang
mendekati qat’i. Kelima, dalam kasus-kasus tertentu diperlukan persyaratan, harus
bersifat qat’iyah, daruriyah,dan kulliyah.
Berdasarkan persyaratan operasional yang dibuat oleh Imam al-Ghazali di atas
terlihat bahwa Imam al-Ghazali tidak memandang maslahah-mursalah sebagai dalil
yang berdiri sendiri, terlepas dari al-Qur’an, as-Sunnah dan ijma’. Imam al-Ghazali
memandang maslahah-mursalah hanya sebagai sebuah metode istinbath
(menggali/penemuan) hukum, bukan sebagai dalil atau sumber hukum Islam.
Sedangkan ruang lingkup operasional maslahah-mursalah tidak disebutkan
oleh Imam al-Ghazali secara tegas, namun berdasarkan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Ahmad Munif Suratmaputra terhadap contoh-contoh kasus maslahahmursalah yang dikemukakan oleh Imam al-Ghazali dalam buku-bukunya (al-
Mankhul, Asas al-Qiyas, Shifa al-Galil, al-Mustafa) dapat disimpulkan bahwa Imam
al-Ghazali membatasi ruang lingkup operasional maslahah-mursalah yaitu hanya di
bidang muamalah saja.
Agak berbeda dengan Imam al-Ghazali, asy-Syatibi hanya membuat dua
kriteria agar maslahat dapat diterima sebagai dasar pembentukan hukum Islam.
  1. Maslahat tersebut harus sejalan dengan jenis tindakan syara’, karena itu maslahat n
yang  sejalan dengan jenis tindakan syara’ atau yang berlawanan dengan dalil syara’
(al-Qur’an, as-Sunnah dan ijma’) tidak dapat diterima sebagai  dasar dalam
menetapkan hukum Islam.
  1. Maslahat seperti kriteria nomor satu di atas tidak ditunjukkan oleh dalil khusus. Jika
ada dalil khusus yang menunjukkannya maka itu menurut asy-Syatibi termasuk
dalam kajian qiyas.
Jika dibandingkan persyaratan yang dibuat oleh Imam al-Ghazali dengan
persyaratan yang dibuat oleh asy-Syatibi di atas, maka persyaratan yang dibuat oleh
asy-Syatibi jauh lebih longgar. Ini merupakan suatu hal yang wajar karena asy-Syatibi termasuk golongan ulama penganut mazhab malikiyah yang sering menjadikan maslahat sebagai dasar penetapan hukum Islam. Al-Ghazali dan asy-Syatibi juga berbeda dalam memandang maslahahmursalah sebagai dalil dalam menetapkan hukum Islam.
Al-Ghazali memandang maslahah-mursalah sebagai dalil yang tidak berdiri sendiri, sebaliknya asy-Syatibi malah memandang maslahah-mursalah sebagai dalil hukum yang beridiri sendiri.
Asy-Syatibi berpendapat demikian karena metode istislah atau maslahah-mursalah
dalam menetapkan hukum Islam tidak berdasarkan kepada nass tertentu, tetapi hanya berdasarkan maslahat yang sejalan dengan tujuan penetapan hukum syara’.
Sedangkan mengenai ruang lingkup operasional maslahah-mursalah, asy-
Syatibi dan Imam al-Ghazali mempunyai pendapat yang sama, yaitu hanya berlaku
dalam bidang muamalah, dan tidak berlaku dalam bidang ibadah. Begitu juga dengan
at-Tufi yang dianggap sebagai orang yang paling berani dan paling kontropersi
pendapatnya tentang maslahat (bukan maslahah-mursalah), dia juga menetapkan
bidang muamalah dan sejenisnya sebagai ruang lingkup operasional maslahah-
mursalah.
Menurut at-Tufi maslahat tidak berlaku pada bidang ibadah, muqaddarad
dan sejenisnya. At-Tufi membangun pendapatnya di atas, atas empat dasar sebagai
berikut;
  1. Akal manusia dapat menemukan dan membedakan mana maslahat
dan mana mafsadat. Karena akal manusia dapat membedakan mana maslahat dan
mana yang mafsadat.
2.   Maslahat menurut at-Tufi merupakan dalil yang berdiri sendiri, terlepas dari nass.
3.   Lapangan operasional maslahat sebagaimana disebutkan di atas, hanya dalam
bidang  muamalah dan adat, bukan pada bidang ibadah dan muqoddarod.
4.   Maslahat merupakan dalil hukum Islam yang paling kuat, karena itu menurut at-
Tufi, maslahat bukan hanya hujjah ketika tidak ada nass dan ijma’ melainkan harus
pula didahulukan atas nass dan ijma’ ketika terjadi pertentangan di antara
keduanya.
Menurut Ahmad Munif Surtmaputra, pengutamaan maslahat atas nass dan ijma’ tersebut dilakukan oleh at-Tufi dengan jalan takhsis dan bayan, bukan dengan jalan meninggalkan nass, sebagaimana mendahulukan as-Sunnah atas al-Qur’an dengan jalan bayan.
Dengan demikian terlihat bahwa ulama-ulama besar, baik dari kalangan
mazhab Malikiyah maupun dari kalangan asy-Syafi’iyah menerima maslahahmursalah
sebagai dasar dalam menetapkan hukum Islam dengan persyaratan.
1.  Hukum yang ditetapkan harus mengandung kemaslahatan.
2.  Maslahat tersebut sejalan dengan maksud pembentukan hukum Islam, yaitu
dalam rangka memelihara agama, jiwa, akal, harta dan keturunan /kehormatan.
3.  Maslahat yang kriterianya seperti pada poin kedua tersebut, tidak ditunjukkan
lingkup operasionalnya khusus dalam masalah muamalah dan adat, tidak berlaku
di bidang ibadah.
Namun sayangnya, dalam mengoperasionalkan maslahah-mursalah tersebut
para ulama memakai istilah yang berbeda-beda, bahka ada satu orang ulama misalnya
Imam al-Ghazali memakai beberapa istilah untuk menyebut maslahah-mursalah,
sehingga berimplikasi kepada ketidak-sempurnaan pemahaman generasi berikutnya
mengenai pendapat ulama terdahulu tentang masalah ini.
Dalam kitab al-Mankul, Imam al-Ghazali menyebut maslahah-mursalah
dengan istilah istidlal sahih (bukan istidlal mursal), dalam kitab Asas al-Qiyas dia
memakai istilah istislah, dan dalam kitab Shifa al-Galil disebutnya dengan istilah
munasib mula’im, sedangkan dalam kitab al-Mustasfa, Imam al-Ghazali tetap
menyebutnya dengan istilah maslahah-mursalah. Karena Imam al-Ghazali menyebut
maslahah-mursalah dengan beberapa istilah, maka ada pendapat yang mengatakan
bahwa Imam al-Ghazali tidak konsisten menjadikan maslahah-mursalah sebagai
dasar dalam menetapkan hukum Islam, pada hal bukan demikian.
Imam asy-Syafi’i sebagai tokoh pendiri mazhab asy-Syafi’iyah, karena dia
menyebut maslahat tanpa pengakuan syara’ dengan istilah maslahah-mursalah, maka
ada pendapat yang mengatakan bahwa Imam asy-Syafi’i menolak maslahahmursalah
sebagai dasar dalam menetapkan hukum Islam.
Namun apabila kita memahami istilah tersebut secara luas, meliputi maslahat yang sejenisnya diakui oleh syara’ maka dapat dikatakan bahwa Imam asy-Syafi’i tidak menolak maslahahmursalah sebagai dasar dalam menetapkan hukum Islam.
Dalam catatan yang lain ada pula pendapat yang mengatakan bahwa Imam
asy-Syafi’i menolak maslahah-mursalah sebagai dasar dalam menetapkan hukum
Islam, karena Imam asy-Syafi’i dalam kitabnya ar-Risalah, menolak istihsan sebagai
dasar penetapan hukum Islam.21 Namun pendapat tersebut dibantah oleh Imam
Haramain dan muridnya Imam al-Ghazali yang nota bene-nya juga sama-sama dari
mazhabn asy-Syafi’iyah dengan cara menghadirkan beberapa contoh hasil ijtihad
Imam asy-Syafi’i berdasarkan kepada maslahah-mursalah.
Kalau kita melihat kepada hasil ijtihad para imam yang empat (Malik, Hanafi,
Syafi’i, dan Hambali), banyak sekali penetapan hukum berdasarkan kepada maslahat,
bahkan penetapan hukum Islam berdasarkan kepada maslahat dilakukan juga oleh
sahabat Nabi. Karena itu sering ditemukan kemaslahatan dari hukum Islam, baik yang
ditetapkan berdasarkan metode qiyas, istihsan dan istishab maupun melalui metode
istislah atau maslahah-mursalah. Dengan demikian benar apa yang dikatakan oleh al-
Qorafi bahwa imam mujtahid/mazhab yang empat mempergunakan maslahah-
mursalah sebagai dasar dalam menetapkan hukum Islam. Adanya pendapat yang
mengatakan para imam besar menolak maslahat sebagai dasar menetapkan hukum
Islam, disebabkan oleh kesalahan mereka dalam memahami beberapa istilah yang
digunakan oleh para imam tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar