Kamis, 02 Desember 2010

Fuqaha Madzhab 4 Sepakat Kaidah Fiqih Dijadikah Dalil Sumber Hukum Islam

Para fuqaha madzhab empat (Hanafi, Maliki, Syafii, Hambali) sepakat bahwa kaidah fiqih dapat dijadikan sebagai hujjah (dalil) sumber hukum Islam dan dapat diaplikasikan terhasap masalah-masalah kontemporer.
Jakarta, Pelita
Para fuqaha madzhab empat (Hanafi, Maliki, Syafii, Hambali) sepakat bahwa kaidah fiqih dapat dijadikan sebagai hujjah (dalil) sumber hukum Islam dan dapat diaplikasikan terhasap masalah-masalah kontemporer.
Direktur Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri Jakarta Prof Dr H Said Agul Husin Al-Munawar MA mengatakan di Jakarta beberapa waktu lalu.
Permasalahan yang muncul di antara empat madzhab, kata Said Agil, adalah menjadikan al-qawaid al-fiqhiyyah sebagai dalil atau sumber hukum Islam yang mandiri tanpa didukung oleh ayat-ayat al-Qur'an dan sunnah. Namun ketika al-qawaaid al-fiqhiyyah tanpa didukung dengan kedua sumber utama tersebut, maka para ulama tidak sepakat menjadikannya sebagai sumber hukum Islam. Dalam konteks pertama, maka sejarah mana peranannya dalam fatwa dan penetapan hukum dalam peradilan (qadha).
Dalam madzhab Hanafi tidak terdapat konsensus di antara mereka mengenai kebolehannya berfatwa atau berhujjah dengan menggunakan qaidah fighiyyah (universal). Ibn Nuj'aim al-Hanafi sebagaimana dikutip al-Hamawi al-Hanafi mengatakan: "Tidak boleh berfatwa dengan mengunakan kaidah fiqh dan dawabit karejna sifatnya aghlabiyah (universal)."
Tetapi bila diperhatikan, lanjut Said Agil, ternyata tidak semua qaidah itu aghlabiyyah, ada kaidah yang sifatnya kulliyyah sebagaimana diindikasikan oleh Muhazzib al-Furuq al-Qarafi menukil dari Al-Amin. Oleh karena itu, Ibnu Nuj'aim secara implisit menyatakan bahwa kaidah yang fiatnya kulliyyah boleh dijadikan hujjah (sumber) hukum Islam. Begitu pula penyusun kitab Majalah al-Ahkam al-'adliyyah yang mayoritas bermafzhab Hanafi sependapat dengan Ibn Nuj'aim tersebut berkata: "Para yuris muslim sebagai menemukan dalil yang kongkret tidak boleh menetapkan hukum dengan hnaya berpegang kepada salah satu kondisi kaidah itu."
Mazhab Maliki menempatkan kadiah-kaidah fiqh sejajar dengan Ushul Fiqh, kaidah itu termasuk bagaimana Syari'at yang dapat memperjelas metodologi berfatwa. Dengan demikian kaidah fiqh dapat dijadikan sebagai sumber hukum Islam. Setiap putusan hukum yang bertentangan dengan dalil serta kaidah yang disepakati oleh para ulama, maka putusannya batal. "Contohnya kasus Suraijiyyah yang bertentangan dengan kaidah yang dsepakati," kata Said Agil.
Menurut Madzhab Syafi'i, qaidah fiqhiyyah dapat dijadikan hujjah dan sangat sifnifikan eksistensinya dalam fiqh. Imam Al-Suyuti l-Syafii menjelaskan bahwa ilmu al-Ashbah wa al Nadzair adalah ilmu yang agung dapat menyingkap hakikat, dasar-dasar dan rahasia fiqh, dapat mempertajam analisis fiqh serta memberikan kemampuan untuk mengindentifikasi berbagai persoalan yang tak terhingga banyaknya sepanjang masa depan cara al-ilhaq dan al-takhrij. Dengan demikian kaidah dapat dijadikan sebagai hujjah atau sumber hukum. Al-Zarkasyi lebih jauh mengemukakan bahwa kaidah fiqh dapat menjadi semacam instrumen seorang pakar hukum dalam mengindentifikasi ushul al-madzhab dan dalam mengyingkap dasar-dasar fiqh.
Al-Juwaini dalam kitabnya Al-Ghayatsy mengatakan bahwa tujuan akhir mengemukakan dua kaidah ini untuk memberi isyarat dalam rangka mengindentifikasi metode yang saya pakai terdahulu, bukan untuk beristidlal dengan keduanya. ungkapan /al-Juwaini ini membeirkan indikasi bahwa kaidah fiqh tidak dapat dijadikan sebagai hujjah. ini berarti bahwa madzhab Syafii tidak menerima kadiah fiqh sebagai hujjah, karena sebagaimana telah dijelaskan, bahwa indikasi yang justru mendukung ke-hujjah-an kaidah fiqh dalam madzhab Syafii. Bahkan pendiri madhabnya pun banyak menggunakan kdiah fiqh dalam memyelesainan kasus yang disampaikan kepadanya. Hal ini diikuti oleh mayoritas fuqaha Syafiiyyah, terutama dalam memecahkan berbagai persoalan yang tidak secar ategas dijelaskan hukumnya oleh nash.
Madzhab Hambali menetapkan kaidah fiqh pada posisinya yang istimewa. Said Agil mengatakan hal ini dapat dijadikan dari pendapat beberapa tokoh madzhab Hambali yang sekaligus dapat dijadikan parameter dalam mengkaji ke-hujjah-an kaidah fiqh dalam istinbath hukum seperti Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya al-qawaid al-nuraiyyah. Ib Qayyim dalam kitabnya I'lam al-Muwaqqi'in, Ibnu Rajab dalam kitabnya qawaid fi al-fiqh al-Islami dan Ibn An-Najjar dalam kitabnya al-Kaukab al-Munir. Mereka semua menjadikan kaidah fiqh sebagai hujjah atau dalil dalam istinbah sebuah hukum terutama dalam kasus-kasus yang itdak dijelaskan oleh nash. Akan tetapi ada indikasi yang menunjukkan bahwa mereka mendahulukan hadits lemah dari para kaidah.
Sementara aplikasinya terhadap masalah-masalah kontemporer, ungkap Said Agil, sudah tidak diragukan lagi bahwa dengan ilmu dan al-qawaid al-fighiyyah itu sendiri akan mengantarkan seorang mujtahid untukd apat melakukan istinbath terhadap masalah-masalah fiqh, khususnya masalah kontemporer.
Sebagai komunitas masyarakat modern dan sekaligus masyarakat ideal adalah komunitas yang senantiasa secara terus menerus berhadapan dengan kemajuan khususnya ilmu pengetahuan dan teknologi modern (iptek), maka dapat dipastikandi satu sisi akan melahirkan masalah-masalah baru sekaligus sebagai kasus yang belum tersentuhkan secara tekstual dalam al-Qur'an dan al-Sunnah, disisi lain adanya keinginan untuk berpegang teguh dengan tetap bdrprilaku pada aturan agama terhadap semua aspek kehidupannya.
Maka dari sini sebagai seorang muslim mempunyai suatu keyakinan akan kesempurnaan agama Islam khususnya dalam aspek hukum, dapat menyajikan kekayaannya di hadapan para pemeluknya untuk dapat memecahkan semua permasalahan yang dihadapinya.
http://www.pelita.or.id/cetakartikel.php?id=5706

Tidak ada komentar:

Posting Komentar