Sudah tidak asing di kalangan para ulama yang berkecimpung dalam juresprudensi Islam (ushul al-fiqh) mengenai teori maqashid al-Syari’ah yang disistematisasi dan dikembangkan oleh al-Syathibi. Bahkan Musthafa Said al-Khin dalam bukunya al-Kafi al-Wafi fi Ushul al-Fiqh al-Islamy membuat kategorisasi baru dalam aliran Ilmu Ushul Fiqh. Bila sebelumnya hanya dikenal dua aliran saja, yaitu Mutakallimin dan fuqaha atau Syafi’iyyah dan Hanafiyyah, maka al-Khin membaginya menjadi lima bagian: Mutakallimin, Hanafiyyah, al-Jam’i, Takhrij al-Furu’ ‘alal Ushul dan Syathibiyyah (al-Khin, 2000: 8).
Dengan demikian, pembagian tersebut telah menempatkan pemikiran Imam al-Syathibi dalam al-Muwafaqat menjadi salah satu bagiatn corak aliran yang terpisah dari aliran ushul fiqih lainnya. Hal ini karena dalam coraknya, al-Syathibi mencoba menggabungkan teori-teori (nadhariyyat) ushul fiqh dengan konsep maqashid al-syari’ah sehingga produk hukum yang dihasilkan lebih hidup dan lebih kontekstual.
Menurut Darusmanwiati, Ada dua nilai penting apabila model al-Syathibi ini dikembangkan para ulama sekarang dalam menggali hukum:
Pertama, dapat menjembatani antara “aliran kanan” dan “aliran kiri”. “Aliran kanan” yang dimaksud adalah mereka yang tetap teguh berpegang pada konsep-konsep ilmu ushul fiqh sedangkan “aliran kiri” adalah mereka yang terakhir ini vokal dengan idenya tajdid ushul al-fiqh dalam pengertian perlu adanya dekonstruksi ushul fiqih demi menghasilkan produk fiqih yang lebih kapabel …. Kedua, model al-Syathibi ini akan lebih menghasilkan produk hukum yang dalam istilah Ibnu al-Qayyim, al fiqh al-hayy, fiqih yang hidup. Karena itu, fiqih yang terlalu teksbook yang penulis (Darusmanwiati) istilahkan dengan Fiqh Ushuly akan berubah menjadi Fiqh Maqashidy (Darusmanwiati, Islamlib: 309)
Arti penting teori maqashid al-syari’ah yang pertama tersebut dianggap dapat memberi napas bagi produk-produk fiqih para ulama yang terlalu terpaku pada teks dan tanpa mengindahkan konteks. Lebih dari itu juga dapat menepis anggapan sementara orang bahwa hukum Islam adalah hukum yang mati, ambigu, bahkan terkadang, menurut mereka, kurang manusiawi (al-Turabi, 2000: 18). Oleh karena itulah, teori ushul fiqih dan maqashid al-syari’ah harus dikawinkan untuk mengatasinya.
Selanjutnya, dengan metodologi Imam al-Syathibi dalam al-Muwafaqat-nya yang mencoba menggabungkan teori-teori ushul fiqih dengan maqashid al-syari’ah akan menjadi penghubung sekaligus jembatan untuk meng-“ishlahkan” kedua kecenderungan di atas. Memisahkan maqashid al-syari’ah dari teori-teori ushul fiqh merupakan kesalahan karena tidak semua persoalan dapat diselesaikan dengan maqashid al-syari’ah an.sich,. Apa yang dikemukakan Thahir bin Asyur dalam bukunya Maqashid al-Syari’ah al-Islamiyyah yang secara yakin menjadikan maqashid al-syari’ah ini sebagai ilmu mustaqil yang terlepas dari ilmu ushul fiqh (Asyur, 1999: 180), kata Darusmanwiati, adalah tidak benar, karena teori-teori dan kerangka yang dikemukakan Asyur sendiri, disadari atau tidak, adalah teori-teori ushul fiqh itu sendiri hanya dengan format yang berbeda (Darusmanwiati, Islamlib: 309).
Sebenarnya, maqashid al-syari’ah telah dikembangkan oleh para mujtahid sebelum al-Syathibi dan bahkan dikembangkan dan disempurnakan juga oleh para pemikiran kontemporer zaman ini. Kata al-maqashid sendiri menurut Ahmad Raisuni, pertama kali digunakan oleh al-Turmudzi al-Hakim, ulama yang hidup pada abad ke-3. Dialah, menurut Raisuni, yang pertama kali menyuarakan maqashid al-syari’ah melalui buku-bukunya, al-Shalah wa Maqashiduhu, al-Haj wa Asraruh, al-‘Illah, ‘Ilal al-Syari’ah, ‘Ilal al-‘Ubudiyyah dan juga bukunya al-Furuq yang kemudian diadopsi oleh Imam al-Qarafi menjadi judul buku karangannya (al-Raisani, 1995: 32).
Setelah al-Hakim kemudian muncul Abu Mansur al-Maturidy (w. 333. H.) dengan karyanya Ma’khad al-Syara’ disusul Abu Bakar al-Qaffal al-Syasyi (w.365 H.) dengan bukunya Ushul al-Fiqh dan Mahasin al-Syari’ah. Setelah al-Qaffal muncul Abu Bakar al-Abhari (w.375 H.) dan al-Baqillany (w. 403 H.) masing-masing dengan karyanya, di antaranya, Mas’alah al-Jawab wa al-Dalail wa al ‘Illah dan al-Taqrib wa al-Irsyad fi Tartib Thuruq al-Ijtihad.
Sepeninggal al-Baqillany muncullah al-Juwainy, al-Ghazali, al-Razy, al-Amidy, Ibnu Hajib, al-Baidhawi, al-Asnawi, Ibnu Subuki, Ibnu Abd al-Salam, al-Qarafi, al-Thufi, Ibnu Taimiyyah dan Ibnu al-Qayyim. (al-Raisani, 1995 : 40–71)
Urutan di atas adalah versi Ahmad Raisuni, sedangkan menurut Yusuf Ahmad Muhammad al-Badawy, sejarah maqashid al-syari’ah ini dibagi dalam dua fase yaitu fase sebelum Ibnu Taimiyyah dan fase setelah Ibnu Taimiyyah (al-Badawy, 2000: 75-114).
Adapun menurut Hammadi al-Ubaidy orang yang pertama kali membahas maqashid al-syari’ah adalah Ibrahim al-Nakha’i (w..96 H.), seorang tabi’in sekaligus gurunya Hammad ibnu Sulaiman gurunya Abu Hanifah. Setelah itu lalu muncul al-Ghazali, al-Izzu ibnu Abdi al-Salam, Najamu al-Din al-Thufi dan terakhir Imam al-Syathibi (al-Ubaidy, t.t: 134).
Sementara Ismail al-Jasani dalam kitabnya “Nadhariyat al-Maqashid ‘inda al-Imam Muhammad al-Thahir ibnu ‘Asyur” menyatakan bahwa pemikiran al-maqashid dikenal dalam dua sumber; sumber dari ulama ushul dan ulama fiqih. Pemikiran al-maqashid dalam pandangan ulama ushul ini diwakili oleh al-Juwaini (w. 478 H.) dan al-Ghazali (w. 505 H.). Sedangkan dalam pandangan ulama fiqih ditemukan al-‘Izzu ibnu ‘Abdi al-Salam (w. 660 H.), Syihab al-Din al-Qarafi (w. 685 H.), Najam al-Din al-Thufi (w. 716 H.), Ibnu Taimiyah (w. 728 H.), muridnya Ibnu al-Qayyim (w. 751 H.) dan al-Syathibi Abu Ishaq (w. 790 H.) (al-Jasani, 1995; 41 – 71).
Meskipun dengan versi yang beraneka ragam, namun dapat diambil kesimpulan bahwa sebelum imam al-Syathibi, maqashid al-syari’ah sudah ada dan sudah dikenal hanya saja susunannya belum sistematis hingga datangnya imam al-Syathibi.
Dengan tidak mengecilkan arti penting pemikiran maqashid dan peran para imam sebelum al-Syathibi, penulis menganggap bahwa pemikiran sistematis al-Syathibi sudah dianggap mewakili untuk mengungkanpkan pendekatan al-Maqashid ini. Dengan demikian pemikiran maqashid selain al-Syatibi, dalam pembahasan ini, hanya menjadi pelengkap dan pemperkaya teori yang dikembangkannya.
Membahas pemikiran maqashid al-Syathibi yang ditulis dalam kitabnya “al-Muwafaqat”, tidak bisa dilepaskan dengan dua tujuan asasi penulisan kitab ini yang terkait erat dengan kondisi objektif masyarakatnya. Tujuan pertama adalah mengungkap rahasia di balik beban syariat, sebagaimana judul bukunya sebelum diganti dengan al-Muwafaqat, dan kedua adalah mempertemukan dua madzhab yang berseberangan dalam pemikiran hukum Islam; yaitu Ibnu al-Qasim dan Abu Hanifah (al-Jasani, 1995; 66). Tujuan ini telah diungkapkan al-Syathibi dalam mukaddimah-nya.
Dengan demikian, menelaah pemikiran al-Syathibi harus selalu dikaitkan dengan tujuan asasi tersebut dan kondisi obyektif masyarakat dan para pemimpin masa al-Syathibi. Keinginannya menyingkap rahasia-rahasia diturunkannya syari’ah tidak lain dikarenakan perselisihan para ulama yang semakin meruncing; antara pengikut madzhab Hanafi dan madzhab Syafi’i, dan antara para kaum sufi dan ahli hukum.
Sebelum membahas lebih jauh pemikirannya, perlu kiranya terlebih dahulu diungkapkan gambaran sekilas mengenai kitab al-Muwafaqat.
Pemikiran al-Syatibi tentang maqashid al-syari’ah tertuang dalam satu kitab yang bernama al-Muwafaqat. Kitab ini merupakan kitab yang terbesar yang menjadi rujukan utama untuk mempelajari dan menggunakan maqashid al-syari’ah dalam memecahkan persoalan hukum. Kata Rasyid Ridha dalam sebuah syairnya yang dituangkan dalam Muqaddimah Kitab al-I’tisham, ketika mengomentari dua buah kitab karya al-Syathibi, yaitu al-Muwafaqat dan al-I’tisham menyatakan “Qalilun minka yakfiini wa lakin qaliluka la yuqalu lahu qalil”. Bahkan ia lebih jauh memberikan dua buah gelar bagi Imam al-Syathibi yaitu Mujaddid fi al-Islam dengan Kitab al-Muwafaqat-nya dan al-Mushlih dengan Kitab al-I’tisham-nya (Ridla, 1982: 4).
Memang layak imam al-Syathibi menyandang dua gelar di atas karena dalam al-Muwafaqat ia mencoba memperbaharui pemahaman syari’ah dengan jalan membawa aqal untuk memahami maqasid dan rahasia-rahasia yang terkandung di dalamnya. Sementara dalam al-I’tisham ia mencoba mengembalikan bid’ah kepada sunnah serta mencoba menawarkan konsep untuk membangun sebuah kehidupan masyarakat yang sesuai dengan apa yang dipraktekkan pada masa Rasulullah Saw dan al-Khulafa al-Rasyidun.
Awalnya buku al-Muwafaqat ini diberi judul al-Ta’rif bi Asrar al-Taklif karena mengungkap rahasia-rahasia di balik hukum taklif. Akan tetapi imam al-Syathibi merasa kurang cocok dengan nama ini sampai suatu hari ia bermimpi. Dalam mimpinya ini imam al-Syathibi bertemu dengan salah seorang syaikhnya, keduanya berjalan dan bercerita dengan seksama. Lalu gurunya itu berkata kepada imam al-Syathibi: “Kemarin saya bermimpi melihat kamu membawa sebuah buku hasil karyamu sendiri. Lalu saya bertanya kepadamu tentang judul buku itu dan kamu mengatakan bahwa judulnya adalah al-Muwafaqat. Saya lalu bertanya kembali maknanya dan kamu menjawab bahwa kamu mencoba menyelaraskan dua madzhab yaitu Maliki dan Hanafi”. Setelah mimpi itu, imam al-Syathibi mengganti nama bukunya dengan nama al-Muwafaqat (al-Syatibi, t.t: 17).
Dari ungkapan imam al-Syathibi di atas tampak bahwa ia mencoba menyamakan kedudukan imam Malik dan Abu Hanifah. Ia mengangkat kedudukan imam Malik dan menjadikan Abu Hanifah sejajar dengan kedudukan Ibnu al-Qasim, salah seorang murid imam Malik.
Buku al-Muwafaqat ini pertama kali dikenal di Tunis oleh para mahasiswa dan para ulama Tunis saat itu. Kemudian untuk pertama kalinya dicetak di Tunisia pada tahun 1302 H atau 1884 M di Mathba’ah al-Daulah al-Tunisiyyah dengan tashih dari tiga ulama besar Tunisia saat itu yaitu: Syaikh Ali al-Syanufi, Syaikh Ahmad al-Wartany dan Syaikh Shalih Qayiji. Sedangkan di Mesir baru dicetak pertama kali tahun 1341H / 1922 M atau setelah kurang lebih 38 tahun dicetak di Tunisia (Asyur, tt : 76). Oleh karena itu, apa yang ditulis Abdullah Darraz dalam Mukaddimah al-Muwafaqat bahwa buku ini pertama kali dicetak di Mesir, menjadi terbantahkan (Daraz, t.t: 11).
Kitab ini mulai dikenal di Mesir semenjak Muhammad Abduh mengadakan kunjungan ke Tunisia tahun 1884 M. Sejak kunjungan itulah, Abduh kemudian memperkenalkannnya kepada Mesir dan langsung dicetak dua kali cetakan, yang pertama ditahkik oleh Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid (dicetak oleh Maktabah Shabih di Mesir tahun 1969M) dan yang kedua ditahkik oleh Syaikh Abdullah Darraz (dicetak oleh al-Maktabah al-Tijariyyah al-Kubra di Mesir tanpa tahun cetakan) (al-Ubaidy, t.t: 1001).
Di antara ulama yang mempunyai peranan sangat penting dalam mempopulerkan kitab ini adalah Muhammad Abduh dan muridnya Muhammad Rasyid Ridha serta murid Rasyid Ridha, Abdullah Darraz. Bahkan Rasyid Ridha melihat kitab al-Muwafaqat ini sebanding dengan al-Muqaddimah-nya Ibnu Khaldun (Ridla, 1982: 4).
Kitab al-Muwafaqat ini kini menjadi sangat populer bukan hanya di Timur Tengah, tetapi juga di Barat. Di Kanada, Belanda dan Amerika misalnya, al-Muwafaqat menjadi buku pegangan wajib bagi mereka yang mengambil Syu’bah Islamic Studies. (Darusmanwiati, Islamlib: 309)
Karya-karya besar pun telah banyak dihasilkan, terutama dalam bentuk disertasi dan tesis, dari mengkaji buku ini. Di antara karya-karya dimaksud adalah Ahmad Raisuni; Nadhariyyatul Maqasid Maqasid ‘Inda al-Imam al-Syathibi; Hammadi al-Ubaidhi; al-Syathibi wa Maqasid al-Syari’ah, Abdurrahman Zaid al-Kailani; Qawaid al-Maqasid ‘Inda al-Imam al-Syathibi, Abdul Mun’in Idris; Fikru al-Maqashid ‘Inda al-Syathibi min Khilal Kitab al-Muwafaqat, Abd Majid Najar; Masalik al-Kasyf ‘an Maqasid al-Syari’ah Baina al-Syathibi wa Ibn ‘Asyur, Jailani al-Marini; al-Qawaid al-Ushuliyyah ‘Inda al-Syathibi, Basyir Mahdi al-Kabisi; al-Syathibi wa Manhajatuhu fi Maqasid al-Syari’ah dan Habib Iyad; Maqasid al-Syari’ah fi Kitab al-Muwafaqat li al-Syathibi (Darusmanwiati, Islamlib: 309). Sayang, tidak semua kitab tersebut di atas dapat penulis temukan.
Demikian sekilas buku imam al-Syathibi yang hingga saat ini menjadi rujukan para peneliti hukum Islam, terutama yang terkait dengan maqashid al-syari’ah atau ilmu maqashid. Berikut ini akan ditelaah secara panjang lebar substansi maqashid al-syari’ah yang terdapat dalam pemikiran al-Syathibi dan pemikir lainnya. Pembahasan ini terfokus pada pemikiran maqashid dan dasar-dasar yang membangunnya.
Imam al-Syathibi membahas maqashid al-syari’ah dalam kitabnya al-Muwafaqat juz II sebanyak 313 halaman (menurut buku cetakan Dar al-Kutub al-Ilmiyyah). Persoalan yang dikemukakan di dalamnya sebanyak 62 masalah.
Dalam pembahasannya, Imam al-Syathibi membagi al-maqashid ini kepada dua bagian penting yakni maksud syari’ (qashdu al-syari’) dan maksud mukallaf (qashdu al-mukallaf). Maksud syari’ kemudian dibagi lagi menjadi 4 bagian yaitu:
1. Qashdu al-Syari’ fi Wadh’i al-Syari’ah (maksud syari’ dalam menetapkan syariat).
2. Qashdu al-Syari’ fi Wadh’i al-Syari’ah lil Ifham (maksud Syari’ dalam menetapkan syari’ahnya ini adalah agar dapat dipahami).
3. Qashdu al-Syari’ fi Wadh’i al-Syari’ah li al-Taklif bi Muqtadhaha
4. Qashdu al-Syari’ fi Dukhul al-Mukallaf Tahta Ahkam al-Syari’ah
http://saif1924.wordpress.com/page/6/?pages-list
Tidak ada komentar:
Posting Komentar