Kamis, 02 Desember 2010

PENGERTIAN KAIDAH FIQH

Dalam studi ilmu kaidah fiqh, kita mendapat dua term yang perlu dijelaskan, yaitu qaidah dan fiqh. Qaidah yang merupakan bentuk mufrod dari kata qawaid berarti aturan atau patokan. Bila dalam bahasa Arab terdapat kalimat “Qowaidl al Bait” maka yang dimaksud adalah pondasi bangunan.


Dalam tinjauan terminologi, para Ulama’ mengartikan kaidah, itu berbeda-beda sesuai dengan konsentrsai masing-¬masing dibidang studinya, yakni:
1. Kaidah menurut Ulama’ Nahwu (Gramatika Arab), misalnya diartikan sebagai ketentuan-ketentuan umum yang bersifat tetap/menyeluruh yang dapat mencakup semua pembahasan masalah-masalah partikular.
2. Sedangkan mayoritas Ulama Ushul mendefinisikan kaidah dengan “Ketentuan dasar yang bersifat tetap secara kulliyyah yang dapat diketahui hukum-hukum cabang yang tercakup di dalamnya.
3. Dikalangan ahli Fiqh masih terjadi perbedaan pandangan dalam mendefinisikan arti kaidah. Tajuddin As Subki (W. 771 H) memaknai kaidah sebagai sebuah rumusan hukum yang bersifat menyeluruh (kulliyyah) dan dapat mencakup berbagai masalah furu’iyyah, untuk mengetahui ketentuan hukum pada masalah yang serupa.
4. Al Hamawi mengartikannya sebagai kerangka hukum mayoritas yang mencakup banyak permasalahan serta berfungsi untuk mengetahui hukum-hukumnya, dan masih terdapat pengecualian-pengecualian.
Sedangkan Fiqh, menurut istilah adalah ilmu yang menerangkan hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliyah (praktis) yang diambilkan dari dalil-dalil yang tafshili (terperinci).
Jadi, dari semua uraian diatas – Sebagaimana yang diutarakan oleh Dr. Abdurrahman Asy Sya’lani – dapat disimpulkan, bahwa Qawaidul fiqhiyah adalah “Aturan umum dalam fiqh yang bersifat kulliyyah (unifersal) yang membahas tentang cabang-cabang yang banyak dari berbagai bab”.
B. Posisi Kaidah Fiqh
Menurut al-Qarrafi syari’at yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW terbagi dalam dua macam yaitu: Ushuliyyah yang berisi prinsip-prinsip dasar atas bangunan hukum syari’at; dan furu’iyyah yang merupakan hasil dari penerapan prinsip dasar tersebut.
Hukum-hukum ushuliyyah juga dibagi menjadi dua bagian yakni, kaidah ushuliyyah yang berisi disiplin ilmu yang menekankan kajiannya pada unsur kebahasaan yang terdapat dalam dalil nash dan metode penggalian hukum dari dalil tersebut. Studi inilah yang kemudian melahirkan produk hukum yang kemudian disebut dengan Fiqh.
Bagian kedua dari hukum ushuliyyah adalah kaidah fiqh yang merupakan studi yang membahas kerangka hukum yang bersifat umum yang dirumuskan berdasarkan dalil atau kesamaan ’illat dan karakteristik permasalahan. Dalam artian, kaidah fiqh merupakan rumusan umum dari berbagai macam persoalan furu’iyyah yang memiliki kesamaan ’illat yang sesuai dengan dalil nash dan prinsip dasar syari’at. Hasil dari pada peng-generalisasi-an tersebut dirumuskan dalam sebuah prinsip umum yang digunakan untuk menelaah persoalan lain yang memiliki kesamaan ’illat.
C. Urgensi Kaidah Fiqh
Menurut al-Suyuthi dengan menguasai kaidah fiqh akan dapat diketahui hakikat fiqh, dasar-dasar hukumnya, landasan pemikirannya, dan rahasia-rahasia terdalamnya. Sedangkan menurut Syeh Yasin al-Fadani, keuntungan dari mempelajari kaidah fiqh adalah akan diperoleh kumdahan dalam mengetahui hukum kontemporer yang tidak mempunyai nash.
Al-Subuki menyatakan bahwa, mengerahkan semua kemampuan untuk mempelajari semua persoalan furu’ tanpa didukung oleh ilmu ushul fiqh akan menyebabkan timbulnya kontradiksi dalam pikiran. Akan tetapi, jika kedua bidang tersebut (Red : Furu’ dan Ushul Fiqh) sulit dikuasai, maka mempelajari kaidah fiqh akan sangat membantu dalam memahami persoalan fiqh dan substansi terdalam.
Selain itu, dianatara keutamaan mempelajari kaidah-kaidah fiqhiyyah lainnya, menurut al-Qarrafi adalah setiap satu kaidah mengandung beragam furu’ fiqhiyyah yang tidak terhitung jumlahnya. Dengan bahasa yang indah dan analitis, al-Qarrafi menyatakan ”barangsiapa menguasai ilmu fiqh disertai kaidah-kaidah kulliyah, karena semuanya telah tercakup dalam kaidah-kaidah itu”.
D. PROSES KODIFIKASI KAIDAH FIQH
Ketika Rasulullah SAW masih hidup semua persoalan yang dihadapi oleh umat Islam bias langsung ditanyakan pada Beliau. Namun ketika Rasulullah SAW telah wafat, mau tidak mau para Sahabat harus berijtihad untuk memcahkan masalah-masalah yang mereka hadapi. Metode yang ditempuh oleh sahabat setiap kali menghadapi masalah baru adalah berusaha mencari jawabannya dalam al-Qur’an, jika tidak ditemukan maka mereka meneliti hadits Nabi, dan jika tidak ditemukan maka mereka berupaya melakukan ijtihad dengan berpegang pada prinsip pokok yang dicontohkan Nabi.
Mereka berupaya meneliti ‘illat hukum yang dikandung nash dan mengkomparasikannya dengan permasalahan baru. Inilah cikal bakal penggunaan qiyas sebagai salah satu metode penggalian hukum. Penggunaan qiyas inilah yang pada akhirnya menjadi embrio lahirnya hukum fiqh.
Pada masa tabi’in kajian hukum fiqh semakin berkembang seiring dengan munculnya berbagai mazhab fiqh. Beragam metodologi penggalian hukum mulai diperkenalkan oleh para imam madzhab, seperti konsep istishlah Imam Malik, metodologi qiyas Imam Syafi’i, serta konsep istihsan imam Hanafi. Pada masa ini pula mulai bermunculan kitab-kitab fiqh periode pertama yang ditulis oleh imam madzhab atau para muridnya. Selain membicarakan berbagai macam persoalan fiqh, pada umumnya dalam kitab tersebut juga disisipkan beberapa prinsip dasar bangunan hukum yang digali dari berbagai macam dalil yang menjadi landasan persoalan hukum fiqh. Penyisipan tersebut olehh generasi fuqaha’ selanjutnnya dijadikan sebagai prinsip penggalian hukum. Dari sinilah para ulama mulai mengembangkan kaidah fiqh.
Disamping itu, bibit kaidah juga dirumuskan para ulama dari berbagai persoalan juziyyah yang dipadukan dengan dalil syar’i. Permasalahan yang memiliki kemiripan ‘illat dan karakter hukum dikemas dalam satu ungkapan yang bisa berbentuk ‘illat, dlabith, kaidah, atau ketentuan hukum lainnya. Hasil dari upaya tersebut dikumpulkan, dihafal, bahkan ditulis dalam kitab-kitab.
Usaha untuk menghafal dan mengumpulkan tersebut mulai tampak sejak tahun 300-an hijriyah. Diantaranya adalah ulama’ madzhab hanafi yakni Abu Thahir ad-Dabbas yang merangkum persoalan fiqh madzhab Hanafi dalam 17 kaidah. Koleksi kaidah milik Abu Thahir ini kemudian dibukukan oleh sahabat karibnya yaitu Abu al-Hasan al-Karkhi yang kemudian ditambah sehingga berjumlah 39 kaidah.
Sementara itu di kalangan madzhab Syafi’I, Qadli husayn dinilai sebagai orang pertama yang merumuskan 4 macam kaidah madzhab Syafi’I, yakni:
1. كل أصل تمهد و تقرر في الشريعة لا يزال عنها إلا بيقين
2. إن المشقة تجلب التيسير
3. اشتقت من قوله لا ضرر ولا ضرار
4. تحكيم العادة و الرجوع إليها
Ke empat kaidah ini pada periode berikutnya disempurnakan lagi menjadi lima kaidah dengan penambahan kaidah الأمور بمقاصدها, dan disertai dengan perubahan berbagai redaksi.
E. SISTEMATIKA PENULISAN
Menurut catatan Abdurrahman al-Sya’alani, setidaknya ada tiga model dalam men-sistematisasi-kan penulisan pada kitab-kitab kaidah fiqh, antara lain:
a. Kitab yang ditulis seiuai urutan bab dalam kitab fiqh, seperti kitab al-Ashbah wa al-Nadloir karya Ibn al-Mulaqqan, atau kitab al-Qawa’id karya al-Maqarri.
b. Kitab kiadah fiqh yang ditulis sesuai dengan urutan huruf hijaiyyah, seperti langkah al-Zarkasyi dalam menulis kitab al-Mantsur fi al-Qawa’id
c. Kitab kaidah yang membagi kaidah-kaidah tertentu dalam beberapa bab atau bagian tertentu, seperti al-‘Alai yang memulai kitabnya dengan membahas lima kaidah dasar, kemudian kaidah ushuliyyah dan di akhiri dengan kaidah fiqhiyyah. Sedangkan Ibn al-Subuki memulai kitab al-Asybah wa al-nadloir-nya dengan membahas lima kaidah dasar, kaidah-kaidah umum, kaidah-kaidah yang khusus yang masuk pada saru bab fiqh, dan diakhiri dengan pembahasan istilah yang memunculkan cabang hukum.
F. KLASIFIKASI KAIDAH FIQH
Jika ditinjau dari aspek cakupan fur’ yang dikandung dalam suatu kaidah, maka kaidah fiqh dibagi ke dallam tiga kelompok besar yaitu:
1. Lima kaidah dasar yang memiliki cakupan menyeluruh, komprehensif dan universal, sehingga hampir menyentuh semua elemen hukum fiqh.
2. Kaidah yang memiliki cakupan furu’ cukup banyak.
3. Kaidah yang memiliki cakupan terbatas, bahkan cenderung sangat sedikit.
Sementara jika ditinjau dari segi muttafaq atau mukhtalaf –nya kiadah-kaidah fiqh juga dibagi menjadi tiga bagian, yaitu :
1. Semua kaidah yang telah disepakati oleh semua madzhab, yaitu lima kiadah dasar atau biasa disebut ¬al-qawaid al-kulliyyah.
2. Formulasi kaidah yang hanya disepakati dalam satu madzhab saja, seperti kaidah aghlabiyyah dan qaliliyyah, dan jumlah mencapai 40 kaidah.
3. Rumusan kaidah yang masih diperdebatkan dalam satu madzhab yang jumlahnya ada 20 kaidah. Kaidah-kaidah ini biasanya diawali dengan nada pertanyaan, atau ditambah penegasan bahwa dalam kaidah ini masih ada khilaf.
http://elsyadz.wordpress.com/2010/03/03/6/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar