Kamis, 31 Mei 2012


NU: Dengan Pancasila, Tak Perlu Negara Islam



Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Said Agil Siraj, menyatakan Pancasila merupakan ideologi dan falsafah dasar negara yang tak bertentangan dengan kaidah-kaidah ajaran Islam.

“Pancasila merupakan kristalisasi dari nilai-nilai akidah, syariah, dan akhlak Islam ahlussunah wal jamaah, maka pengamalan Pancasila dengan sendirinya telah merupakan syariat Islam alaahlusunnah wal jamaah,” ujar Said  pada ‘Peringatan Pidato Bung Karno 1 Juni 1945’ di Gedung Nusantara IV Kompleks MPR/DPR RI, Jakarta, Jumat 1 Juni 2012.

Sebagai konsekuensi atas sikap politik tersebut, lanjut Said, maka NU wajib menjaga pengertian yang benar tentang Pancasila serta pengamalannya secara murni dan konsekuen. “Dengan demikian tidak perlu ada aspirasi untuk mendirikan negara Islam karena nilai-nilai dan aspirasi Islam telah dikejawantahkan dalam Pancasila,” kata Said.

Oleh karena itu segala bentuk penentangan terhadap Pancasila, menurut Said, perlu ditindak tegas. “Siapa saja dan organisasi apa saja yang terang-terangan bertentangan apalagi melawan ideologi Pancasila, harus ditetapkan sebagai organisasi kriminal, bahkan subversif, yang tidak boleh leluasa mengembangkan ajarannya di negara ini,” kata Said.

Banyak UU Bertentangan dengan Pancasila

Said juga mengatakan, Pancasila tidak dapat dipahami sebagai instrumen alat pemersatu semata. Lebih dari itu, Pancasila perlu dihayati sebagai substansi atau sumber tata nilai yang merupakan falsafah dalam berbangsa dan bernegara secara terus-menerus.

“Banyaknya konvensi internasional, baik yang sudah diratifikasi maupun belum diratifikasi oleh pemerintah RI, sama sekali tidak boleh menggeser sedikit pun kedudukan Pancasila sebagai sumber tertinggi hukum dan tata nilai bangsa Indonesia,” ucap Said.

Untuk menjaga posisi Pancasila sebagai sumber hukum tertinggi, menurut Said segala bentuk hukum dan perundang-undangan yang ada di Indonesia pun mesti merujuk pada Pancasila. “Segala bentuk hukum yang tidak sejalan dengan Pancasila harus dinyatakan batal demi hukum,” kata dia.

Sayangnya, lanjut Said, saat ini banyak Undang-undang yang bertentangan dengan Pancasila. “Oleh karena itu harus segera dievaluasi karena ini jelas telah merugikan bangsa, merusak negara, dan menyengsarakan rakyat Indonesia. Padahal jelas tujuan Pancasila adalah untuk menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” kata Said.

PEMIKIRAN TEOLOGI MU’TAZILAH


A. Pendahuluan
Mempelajari dan menganalisa aliran dan pemikiran Mu’tazilah dalam perkembangan pemikiran islam, merupakan kajian yang sangat menarik dan signifikan. Di sebut menarik, karena aliran Mu’tazilah merupakan teologi islam yang tertua dan terbesar yang telah memaiankan peranan penting dalam pemikiran dunia islam(AHanafi MA 64). Hal menarik lainnya karena Mu’tazilah merupakan representasi kesadaran dunia islam dalam kemajuan dan kemodernannya. Di sebut signifikan karena mempelajari tentang aliran Mu’tazilah merupakan bagian dari upaya strategis dalam mengembalikan wacana kesadaran islam sebagai counter peradaban (civilization counter) terhadap dominasi kultural barat. Siginikansi lainnya karena metodologi interpretasi aliran Mu’tazilah memberikan kontribusi yang luar biasa besarnya dalam melakukan transformasi sosial, politik, budaya, dan ekonomi bagi peradaban islam masa kini.
B. Asal Muasal Kaum Mu’tazilah Dalam Teologi Islam
Disini saya akan mengangkat tentang asal muasal faham Mu’tazilah dalam teologi islam. Mu’tazilah sendiri adalah golongan yang membawa persoalan-persoalan teologi yang lebih mendalam dan bersifat filosofis dari pada persoalan-persoalan teologi-teologi dalam islam lainnya, mereka dalam pembahasannya, mereka banya k memakai akal sehingga mereka mendapat nama “kaum rasionalis islam”.
Asal muasal nama Mu’tazilah sendiri berpusat pada peristiwa yang terjadi antara Wasil bin ‘Ata’ serta temannya ‘Amr bin ubaid dan Hasan al-basri di Bashrah.
Menurut Al-Mas’udi memberkan keterangan lain lagi, yaitu tidak berhubungan dengan permasalahan antara Wasil dan Amr dari satu pihak hasan Al-basri dari pihak lain. Mereka di sebut kaum Mu’tazilah karena meraka berpendapat bahwa orang berdosa besar bukan mukmin dan bukan kafir, tetapi mengambil posisi diantara kedua posisi itu (al-manzilah bain al-manzilatain) menurut versi ini mereka di sebut Mu’tazilah, karena mereka membuat orang berdosa besar jauh dari (dalam arti tidak masuk) golongan mukmin dan kafir.
Mu’tazilah sendiri sudah ada sejak zaman saidina Ali bin Abi Talib. Disitu di tulis karena kaum Khawarij kaum yang dulunya membela saidina Ali membelot meninggalkan saidina Ali, dan memandang Khalifah ‘Usman, saidina Ali, Muawiyah dan orang berdosa besar lainnya kafir. Untuk mengetahui asal-usul nama Mu’tazilah sendiri memang sulit, karena banyak pendapat yang berbeda-beda yang pernah saya ketahui. Mereka juga kaum Mu’tazilah sendiri bukan nama ejekan, karena dalam Al-quran sendiri I’tazilah mengandung artian pujian (di kutip dari nasy’ah hal 430/31). Mereka juga sering menyebut mereka sebagia Ahl al ‘adl dalam artian yang mempertahankan keadilan tuhan, faham-faham teologi dalam islam lainnya yang termasuk lawan-lawan dari Mu’tazilah sendiri memakai nama-nama seperti al-Qadariah, karena mereka menganut faham Free will dan free act al-muattilah, karena mereka berpendapat bahwa tuhan tidak memiliki sifat, dalam arti sifat mempunyai wujud di luar zat tuhan, dan Wa’idiah, karena mereka berpendapat bahwa ancaman-ancaman Tuhan terhadap orang-orang yang tidak patuh, pasti dan tak akan menimpa diri mereka.
Dalam ajaran Mu’tazilah sendiri yang sangat berpengaruh membawa faham ini adalah Wasil bin Ata, dia biasa di sebut syaikh al mu’tazilah wa qadimuha yaitu kepala dan Mu’tazilah yang tertua. Ia lahir di tahun 81 H di madinah dan meninggal tahun 131 H. disana dia belajar pada abu hasyim Abdullah bin Muhammad bin al-Hanafiah, kemudian pindah ke Basrah dan belajar pada Hasan al-basri.
C. Mu’tazilah Dalam Lintas Sejarah
1. Definisi Mu’tazilah
a. Secara Etimologi
Mu’tazilah adalah kata dalam bahasa arab yang asalnya yaitu ‘aza atau i’tazala, kata-kata ini diulang dalam Al-quran sebanyak sepuluh kali yang kesemuanya mempunyai arti sama yaitu al ibti’ad ‘ani al- syai-i : menjauhi sesuatu. Seperti dalam satu redaksi ayat :
إِلَّا الَّذِينَ يَصِلُونَ إِلَى قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِيثَاقٌ أَوْ جَاءُوكُمْ حَصِرَتْ صُدُورُهُمْ أَنْ يُقَاتِلُوكُمْ أَوْ يُقَاتِلُوا قَوْمَهُمْ وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَسَلَّطَهُمْ عَلَيْكُمْ فَلَقَاتَلُوكُمْ فَإِنِ اعْتَزَلُوكُمْ فَلَمْ يُقَاتِلُوكُمْ وَأَلْقَوْا إِلَيْكُمُ السَّلَمَ فَمَا جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ عَلَيْهِمْ سَبِيلًا (90)
90. kecuali orang-orang yang meminta perlindungan kepada sesuatu kaum, yang antara kamu dan kaum itu telah ada perjanjian (damai)[331] atau orang-orang yang datang kepada kamu sedang hati mereka merasa keberatan untuk memerangi kamu dan memerangi kaumnya[332]. Kalau Allah menghendaki, tentu Dia memberi kekuasaan kepada mereka terhadap kamu, lalu pastilah mereka memerangimu. tetapi jika mereka membiarkan kamu, dan tidak memerangi kamu serta mengemukakan perdamaian kepadamu[333] maka Allah tidak memberi jalan bagimu (untuk menawan dan membunuh) mereka.
b. Secara Terminologi Para Ulama
Mu’tazilah adalah firqoh Islamiyyah (aliran dalam islam) yang muncul pada masa akhir dinasti umayyah dan tumbuh pesat pada masa dinasti abbasiyyah. Mereka berpegang pada kekuatan rasionalitas an sich dalam memahami aqidah Islam (al-Aqidah al-Islamiyyah), hal itu lebih sebagai bukti dari pengaruh berbagai “filsafat-filsafat import” yang menyimpang dari aqidah ahlu sunnah wal jama’ah.
Filsafat-filsafat import itu di antaranya adalah filsafat Yunani dalam diskursus dzat dan sifat, filsafat Hindu, dan aqidah Yahudi dan Nasrani.
Sedangkan sebagian ulama, mendefinisikannya sebagai satu kelompok dari qadiriyah yang berbeda pendapat dengan umat islam dalam permasalahan hukum pelaku dosa besar yang di pimpin oleh Wasil bin Atho’ dan Amr bin Ubaid pada zaman Al Hasan Al Basry.
Kalau kita melihat kepada definisi secara etimologi dan terminologi, didapatkan adanya hubungan yang sangat erat dan kuat, karena kelompok ini berjalan menyelisihi jalannya umat isla, khususnya Ahli Sunnah, dan bersendiri dengan konsep akalnya yang khusus, sehingga Akhirnya membuat mereka menjadi lemah, tersembunyi dan terputus.
2. Perkembangannya
Berbiacara tentang awal mula sejarah Mu’tazilah, orang akan selalu merujuk pada episode diskusi Hasan al-Basri(w. 110 H/728 M), seorang ulama terkemuka pada zamannya, dengan para muridnya di seputar tema muslim yes, muslim no yang baru dalam taraf pembentukan diri, sangat menekankan perlunya seseorang dapat memperjelas (diperjelas) kedudukannya apakah termasuk orang dalam (in grup) atau luar (out grup). Maka terhadap pertanyaan yang terlontar dalam diskusi Hasan tadi, yang berkembang saat itu adalah jawaban-jawaban sebagai berikut:
Pertama, Dengan melakukan dosa besar, seorang muslim telah terpental dari kelompoknya (komunitas), alias menjadi “kafir”, dan karena itu -sesuai dengan hukum riddah- halal di tumpahkan darahnya. Jawaban ini di ajukan oleh kelompok yang terkenal dengan sebutan khawarij.
Kedua, Mengatakan bahwa muslim yang melakukan dosa besar masih tergolong muslim, adapun dalam kaitannya dengan dosa yang di lakukannya itu terserah tuhan di akhirat nanti. Jawaban inilah yang agaknya di condongi umat islam yang di sebut sebagai kelompok murjiah.
Hasan al-Basri, selaku pemimpin dan tokoh yang merasa harus menjaga keutuhan umat, berada dalam arus kecenderungan umum ini, yaitu bahwa identitas seseorang apakah ada “di dalam” (minna) atau “di luar” (minhum) harus benar-benar jelas. Itulah sebabnya ketika washil melontarkan pendapatnya yang melawan arus tadi (bukan muslim dan bukan kafir), dengan nada menyesal, Hasan berkomentar: Ia telah keluar dari kita. I’tazala’anna!. Kata i’tazala (hengkang) yang jadi sebutan Mu’tazilah (yang hengkang dari arus umum) itu pun kemudian di tempelkan kepada Washil bin Atha dan segenap pengikutnya. Mu’tazilah berkembang sebagai satu pemikiran yang di tegakan diatas pandangan bahwa akal adalah sumber kebenaran pada awal abad kedua hijriyah, tepatnya tahun 105 atau 110 H di akhir-akhir kekuasaan Bani Umayyah di kota bashroh di bawah pimpinan Washil bin Atha’Al Ghozaal. Kelompok atau sekte ini berkembang dan terpengaruh oleh bermacam-macam aliran pemikiran yang berkembang pada masa itu, sehingga di dapatkan padanya kebanyakan pendapat mereka mengambil dari pendapat aliran pemikiran jahmiyah, yang kemudian berkembang dari kota bashroh yang merupakan tempat tinggalnya Al Hasan Al Basry, lalu menyebar dan merebak ke kota kufah dan baghdad. Akan tetapi, pada masa ini Mu’tazilah menghadapi tekanan yang sangat berat dari para pemimpin Dinasti Umayyah yang membuat aliran ini sulit berkembang dan sangat terhambat penyebarannya, sehingga hal itu membuat mereka sangat membenci Dinasti Umayyah karena penantangan mereka terhadap mazhab (aliran) mu’tazilah dan i’tikad mereka dalam permasalahan qadar bahkan mereka pun tidak menyukai dan tidak meridhoi seorangpun dari pemimpin Dinasti Umayyah kecuali Yazid bin Al Waalid bin Abdul Malik bin Marwan (wafat tahun 126 H) karena dia mengikuti dan memeluk mazhab mereka.
Dalam hal ini berkata Al Mas’udy :”Yazid bin Waalid telah bermadzab dengan mazhab Mu’tazilah dan pendapat mereka tentang iilmu pokok (ajaran mereka) yaitu At Tauhid, Al Adl, Al Wa’iid, Al Asma wal Ahkam –yaitu pendapat manzilah baina manzilatain- dan amar ma’ruf nahi munkar” dan berkata lagi:”(sehingga Mu’tazilah mengedepankan Yazid bin Al Waalid dalam sisi keagamaan dari Umar bin Abdul Aziz”.
Permusuhan dan perseteruan antara Dinasti Umayyah dan Mu’tazilah ini berlangsung terus menerus dengan keras sampai jatuhnya kekuasaan Dinasti Umayyah dan tegaknya kekuasaan Dinasti Abbasiyyah. Kemudian, bersamaan dengan berkembangnya kekuasaan Dinasti Abbasiyyah, berkembanglah Mu’tazilah dengan mulainya mereka mengirim para dai dan delegasi-delegasi ke seluruh negeri islam untuk mendakwahkan mazhab dan i’tikad mereka kepada kaum muslimin dan diantara yang memegang peran besar dan penting dalam hal ini adalah Washil bin Atho’. Dan kesempatan ini mereka peroleh karena mazhab mereka dengan syiar dan manhajnya memberikan dukungan yang besar dalam mengokohkan dan menguatkan kekuasaan Dinasti Abbasiyyah khususnya pada zaman Al Ma’mun yang condong mengikut aqidah mereka, apalagi di tambahh dengan persetujuan Al Ma’mun terhadap pendapat mereka tentang Al Quran itu makhluk sampai-sampai Al Ma’mun mengerahkan seluruh kekuatan bersnjatanya untuk memaksa manusia untuk mengikuti dan meyakini kebenaran pendapat tersebut, lalu beliau mengirimkan mandat kepada pembantunya di baghdad pada tahun 218 H untuk menguji para hakim, muhadditsin, dan seluruh ulama dengan pendapat bahwa Al Qur’an adalah makhluk, demikian juga beliau memerintahkan para hakim untuk tidak menerima persaksian orang yang tidak berpendapat dengan pendapat tersebut dan menghukum mereka, maka terjadilah fitnah yang sangat besar. Diantara para ulama yang medapatkan ujian dan cobaan ini adalah Al Imam Ahmad bin Hambal –dan kisah beliau ini sangat terkenal-, akan tetapi beliau tetap teguh dengan aqidah dan pendapat Ahli Sunnah Wal Jama’ah tentang hal tersebut yaitu bahwa Al Qur’an adalah kalamullah dan bukan makhluk.
Mu’tazilah terus mendapat perlindungan dan bantuan dari para penguasa Dinasti Abbasiyyah dari zaman Al Ma’mun sampai zaman Al Mutawakil dan pada zaman tersebut sekte Mu’tazilah di jadikan mazhab dan aqidah resmi negara, satu faktor yang membuat mereka mampu menyebarkan kekuasaan mereka dan mampu menekan setiap orang yang menyelisihi mereka, lalu mereka menjadikan pedang sebagai ganti dari hujjah dan dalil. Maka berkembanglah aliran ini di negeri-negeri muslimin dengan bantuan dari sebagian pemimpin-pemimpin Bani Abasyah.
Kemudian mereka terpecah manjadi dua cabang:
1. Cabang bashroh, yang terwakili oleh tokoh-tokoh seperti Washil bin Atho’. Amr bin Ubaid, Usman Ath Thowil, Abu Al Hudzail Al ‘Alaaf, Abu Bakr Al Ashom, Ma’mar bin Ubaad, An Nadzom, Asy Syaham, Al Jaahidz, Abu Ali Aljubaa’i, Abu Hasyim Aljubaa’i dan yang lai-lainnya.
2. Cabang baghdad, yang terwakili oleh tokoh-tokoh seperti Bisyr bin Mu’tamir, Abu Musa Al Mardaar, Ahmad bin Abi Duaad, tsumamah bin Al Asyras, Ja’far bin Harb, ja’far bin Mubasyir, Al Iskaafy, Isa bin Al Haitsam Al Khayaath, Abu Qasim Al Balkhy Al Ka’by dan yang lain-lainnya.
Sebenarnya faktor yang mendasar yang mendorong mereka sibuk dan memperdalam ilmu kalam adalah untuk membahas hujjah dengan hujjah dan untuk menghancurkan hujjah-hujjah para musuh islam serta untuk membantah semua tuduhan dan kebohongan mereka sehingga akhirnya mereka berlebih-lebihan dalam mengutamakan dan mengedepankan ilmu ini atas semua ilmu yang selainnya, lalu mereka menjadikannya sebagai satu-satunya cara untuk menentukan adanya Allah dan Rububiyah-Nya, hujjah-hujjah kenabian dan untuk mengenal sunnah dari bid’ah, sebagiamana yang dikatakan Al Jaahidz:”dan sesuatu apakah yang lebih agung dari segala sesuatu, seandainya tidak karena kedudukannya, tidaklah dapat ditetapkan kerububiyahan-robb, tidak dapat di tegakan hujjah-hujjah kenabian dan tidak dapat dipisahkan antara hujjah dengan syubhat, dalil dengan apa yang terbayangkan dalam bentuk dalil. Dengannya dapat dikenal Al Jama’ah dari Al Firqoh (kelompok yang menyempal) dan sunnah dari bid’ah serta kanehan dari yang masyhur”.
Walaupun Mu’tazilah telah melakukan usaha yang besar dalam menekuni dan menyelami kehidupan akal sehat abad kedua sampai ke lima hijriyah, akan tetapi tidak mendapatkan keberhasilan dan kesuksesan bahkan akhirnya mengalami kemunduran dan kegagalan dalamm bidang tersebbut. Hal ini tampaknya terjadi karena mereka tidak mengambil sumber manhaj mereka dari Al Qur’an dan As Sunnah, bahkan mereka mendasarinya dengan bersandar kepada akal semata yang telah dirusak oleh pemikiran filsafat yunani dan bermacam-macam aliran pemikiran.
3. Sebab Penamaannya.
Para ulama telah berselisih tentang sebab penamaan kelompok (aliran) ini dengan nama Mu’tazilah menjadi beberapa pendapat:
Pertama, penamaan Mu’tazilah hasil dari diskursus tentang masalah aqidah keagamaan, seperti menghukumi pelaku dosa besar, tentang masalah qodar dalam artian, apakah seorang hamba berkuasa atas perbuatannya atau tida. Dan pengusung pemikiran ini menamai Mu’tazilah dengan beberapa sebab :
1. Bahwasanya mereka meninggalkan kaum muslimin dengan perkataan manzilah baina manzilataini (satu diantara dua tempat).
2. Mereka menamai Mu’tazilah setelah hengkangnya washil bin atho’ dari halakoh Hasan Al Basri dan membentuk halakoh khusus. Tentang hal ini, Hasan Al Basri berkata “washil telah meninggalkan kita” bahwasanya mereka berkata wajib meninggalkan pelaku dosa besar dan memboikotnya.
Kedua, penamaan Mu’tazilah lahir dari pergulatan politik di mana kelompok orang-orang dari Syi’ah Ali meninggalkan Hasan ketika Mu’awiyyah melepaskan jabatan (sebagai raja) Adapun sejarawan Mu’tazilah (Qadhi Abdu al-Jabar al-hamdani) berpendapat bahwa Mu’tazilah bukan madzab baru atau firqah baru, akan tetapi dia adalah pelanjut risalah Rasulullah saw dan sahabat-sahabatnya. Penamaan tersebut, disebabkan mereka “menjauhi kejahatan”. Seperti dalam firman Allah SWT:
واعتزلكم وما تدعون
D. Akar dan Produk Pemikiran Mu’tazilah
Mu’tazilah sebagai sebuah aliran teologi memiliki akar dan produk pemikiran tersendiri. Yang dimaksud akar pemikiran di sini adalah dasar dan pola pemikiran yang menjadi landasan pemahaman dan pergerakan mereka. Sedangkan yang dimaksud produk pemikiran adalah konsep-konsep yang dihasilkan dari dasar dan pola pemikiran yang mereka yakini tersebut.
Mu’tazilah adalah kelompok yang mengadopsi faham qodariyah, yaitu faham yang mengingkari takdir Allah; dan menjadikan akal (rasio) sebagai satu-satunya sumber dan metodologi pemikirannya. Dari sinilah pemikiran Mu’tazilah berakar dan melahirkan berbagai kongklusi teologis yang menjadi ideologi yang mereka yakini.
Disebutkan dalam buku “al-mausu’ah al-muyassaroh fi’ladyan wa’lmadzahib wa’lahzab al-mu’ashirah” bahwa pada awal sekte Mu’tazilah ini mengusung dua pemikiran yang menyimpang (mubtadi’), yaitu:
1. Pemukiran bahwa manusia punya kekuasaan mutlak dalam memilih apa yang mereka kerjakan dan mereka sendirilah yang menciptakan pekerjaan tersebut.
2. Pemikiran bahwa pelaku dosa besar bukanlah orang mu’min tetapi bukan pula orang kafir, melainkan orang fasik yang berkedudukan diantara dua kedudukan –mu’min dan kafir- (manzilatun baina ‘lmanzilataini)
Dari dua pemikiran yang menyimpang ini kemudian berkembang dan melahirkan pemikiran-pemikiran turunan seiring dengan perkembangan mu’tazilah sebagai sebuah sekte pemikiran.
Sejalan dengan keberagamaan akal manusia dalam berfikir maka pemikiran yang dihasilkan oleh sekte Mu’tazilah ini pun sama beragamnya. Tidak hanya beragam akan tetapi melahirkan sub-sub sekte yang tidak sedikit jumlahnya. Setiap sub sekte memiliki corak pemikiran tersendiri yang ditentukan oleh corak pemikiran pimpinan sub sekte tersebut.
Dalam bukunya,”al-farqu baina ‘lfiraq”, Al-Baghdadi menyebutkan bahwa sekte Mu’tazilah terbagi menjadi 20 sub sekte. Keduapuluh sub sekte ini disebutnya sebagai Qodariyah Mahdhah. Selain duapuluh sub sekte tersebut masih ada lagi dua sub sekte Mu’tazilah yang oleh al-Baghdadi digolongkan sebagai sekte yang sudah melampaui batas dalam kekafiran, kedua sekte tersebut adalah: al-khabithiyah dan al-himariyyah. Namun, meskipun sudah terbagi dalam lebih dari duapuluh sub sekte mereka masih memiliki kesatuan pandangan dalam beberapa pemikiran. Hal tersebut ditegaskan Al-Baghdadi dengan menyebutkan enam pemikiran yang mereka sepakati, pemikiran-pemikiran tersebut adalah:
- Pemikiran bahwa Allah tidak memiliki sifat azali. Dan pemikiran bahwa Allah tidak memiliki ‘ilmu, qudrah, hayat, sama’, bashar, dan seluruh sifat azali.
- Pemikiran tentang kemustahilan melihat Allah dengan mata kepala dan keyakinan mereka bahwa Allah sendiri tidak bisa melihat “diri”-Nya dan yang lain pun tidak bisa melihat “diri”-Nya.
- Pemikiran tentang ke-baru-an (hadits) kalamullah dan ke-baru-an perintah, larangan, dan khabar-Nya. Yang kemudian kebanyakan mereka mengatakan bahwa kalamullah adalah makhluk-Nya.
- Pemikiran bahwa Allah bukan pencipta perbuatan manusia bukan pula pencipta prilaku hewan. Keyakinan mereka bahwa manusia sendirilah yang memiliki kemampuan (Qudrah) atas perbuatanya sendiri dan Allah tidak memiliki peran sedikitpun dalam seluruh perbuatan manusia juga seluruh prilaku hewan. Inilah alasan Mu’tazilah disebut qodariyah oleh sebagaian kaum muslimin.
- Pemikiran bahwa orang muslim yang fasiq berada dalam satu manzilah di antara dua manzilah -mu’min dan kafir- (manzilatun baina manzilataini). Inilah alasan mereka disebut Mu’tazilah.
- Pemikiran bahwa segala sesuatu perbuatan manusia yang tidak di perintatahkan oleh Allah atau dilarang-Nya adalah sesuatu yang pada dasarnya tidak Allah kehendaki.
Inilah sebagian produk pokok pemikiran Mu’tazilah yang cukup mewakili identitas Mu’tazilah sebagai sebuah sekte pemikiran. Seluruh pemikiran Mu’tazilah adalah produk dari kekuatan mereka berpegang teguh pada akal rasional. Sehingga sekte ini adalah sekte yang paling menguasai ilmu kalam.
Ibn Taymiyyah mempunyai kutipan yang menarik dari keterangan salah seorang ‘ulama’ yang disebutnya Imam ‘Abdullah ibn Mubarak. Menurut ibn Taymiyyah, sarjana itu mengatakan demikian:
“Agama adalah kepunyaan ahli hadist, kebohongan kepunyaan kaum Rafidla, (ilmu) kalam kepunyaan kaum Mu’tazilah, tipu daya kepunyaan (pengikut) Ra’y (temuan rasional)”
Selanjutnya, dari enam pemikiran yang menjadi konsensus seluruh sub sekte Mu’tazilah di atas mereka merangkum kembali menjadi lima dasar (ushul) pemikiran yang menjadi trade mark mereka.
Kelima dasar pemikiran tersebut adalah: al-tauhid, al-a’dl (keadilan Allah), al-wa’d wa’lwa’id (janji dan ancaman Allah), al-manzilatu baina ‘lmanzilataini, al-amru bilma’ruf wa al-nahyu ‘ani’munkar.
Secara ringkas lima dasar pemikiran mu’tazilah ini di jelaskan dalam mausu’ah WAMY, berikut kutipannya dengan sedikit perubahan:
(1) Al-Tauhid
Mereka meyakini bahwa Allah di sucikan dari perumpamaan dan permisalan (laisa kamislihi syai-un) dan tidak ada yang mampu menentang kekuasaan-Nya serta tidak berlaku pada-Nya apa yang berlaku pada manusia. Ini adalah faham yang benar, akan tetapi dari sini mereka menghasilkan konklusi yang bathil: kemustahilan melihat Allah sebagai konsekwensi dari penegasian sifat-sifat (yang menyerupai manusia); dan keyakinan bahwa al-Qur’an adalah makhluk sebagai konsekwensi dari penegasian Allah memiliki sifat kalam.
(2) Al ‘adl (keadilan Allah)
Maksud mereka dengan keadilan Allah adalah bahwa Allah tidak menciptakan perbuatan hamba-hamba-Nya dan tidak menyukai kerusakan. Akan tetapi hamba-hamba-Nyalah yang melakukan apa-apa yang diperintahkan-Nya dan meninggalkan apa-apa yang dilarang-Nya dengan kekuatan (qudrah) yang Allah jadikan buat mereka. Dan bahwasanya Allah tidak memerintah kecuali dari yang dibenci-Nya. Dan Allah adalah penolong bagi terlaksananya kebaikan yang diperintahkan-Nya dan tidak bertanggungjawab atas terjadinya kemungkaran yang dilarang-Nya.
(3) Al-manzilatu bainalmanzilataini
Maksud mereka adalah bahwa pendosa besar berada di antara dua kedudukan, ia tidak berada dalam kedudukan mukmin juga kafir.
(4) Al-amru bilma’ruf wa al-nahyu ‘ani’lmungkar
Mereka menetapkan bahwa hal ini (al-amru bilma’ruf wa al-nahyu ‘ani’lmungkar) adalah kewajiban seluruh mu’minin sebagai bentuk penyebaran dakwah islam; penyampaian hidayah bagi mereka yang tersesat; dan bimbingan bagi mereka yang menyimpang. Semuanya dilakukan sesuai kemampuan, bagi yang mampu dengan penjelasan maka dengan penjelasan, yang mampu dengan pedang maka dengan pedang.
Dari pemaparan tentang pemikiran mu’tazilah di atas, terlihat bahwa akal adalah satu-satunya sandaran pemikiran mereka. Oleh karena itu, terkenallah bahwa mu’tazilah adalah pengusung teolagi nasionalitas. Teologi nasionalitas yang di usung kaum mu’tazilah tersebut bercirikan :
Pertama, kedudukan akal tinggi di dalamnya, sehingga mereka tidak mau tunduk kepada arti harfiah dari teks wahyu yang tidak sejalan dengan pemikiran filosofis dan ilmiyah. Mereka tinggalkan arti harfiah teks dan ambil arti majazinya, dengan lain kata mereka tinggalkan arti tersurat dari nash wahyu dan mengambil arti tersiratnya. Mereka dikenal banyak memakai ta’wil dalam memahami wahyu.
Kedua, Akal menunjukan kekkuatan manusia, maka akal yang kuat menggambarkan manusia yang kuat, yaitu manusia dewasa, manusia dewasa, berlainan dengan anak kecil, mampu berdiri sendiri, mempunyhaio kebebasan dalam kemauan serta perbuatan, dan mampu berpikir secara mendalam. Karena itu aliran ini menganut faham qadariah, yang di barat dikenal dengan istilah free-will and free-act, yang membawa kepada konsep manusia yang penuh dinamika, baik dalam perbuatan maupun pemikiran.
Ketiga, Pemikiran filisofis mereka membawa kepada penekanan konsep Tuhan Yang Maha Adil. Maka keadilan Tuhanlah yang menjadi titik tolak pemikiran teologi mereka. Keadilan Tuhan membawa mereka selanjutnya kepada keyakinan adanya hukum alam ciptaan Tuhan, dalam al-Qur’an disebut Sunnatullah, yang mengatur perjalanan apa yang ada di alam ini. Alam ini berjalan menurut peraturan tertentu, danperaturan itu perlu dicari untuk kepentingan hidup manusia di dunia ini.
Teologi rasional Mu’tazilah inilah, dengan keyakinan akan kedudukan akal yang tinggi, kebebasan manusia dalam berfikir serta berbuat dan adanya hukum alam ciptaan tuhan, yang membawa pada perkembangn islam, bukan hanya filsafat, teta[pi juga sains, pada nasa antara abad ke VIII dan XIII M.
Titik lemah ideologi Mu’tazilah
Jika Mu’tazilah, dengan teologi rasionalitasnya, dikategorikan sekte “pemuja” akal, apakah dengan itu berarti mereka adalah golongan berakal?
Jika kita masih memegang teguh Al Qur’an, maka Al Qur’an telah menyiapkan jawabannya, Firman Allah dalam Qs. Ali Imran: 7 sebagai berikut:”Dia-lah yang menutunkan Al Kitab (al Qur’an) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada, itulah pokok-pokok isi al Qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyabihat daripada untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata:”kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.”
Ayat dia atas menegaskan bahwa terdapat dua jenis isi kandungan al Qur’an: Pertama, ayat-ayat yang muhkamat, Kedua, ayat-ayat yang mutasyabihat. Kemudian menjelaskan bahwa di antara manusia ada yang selalu condong pada kesesatan yaitu mereka yang selalu mengikuti ayat-ayat mutasyabihat dan mencari-cari ta’wilnya.
Lalu kalau kita melihat produk pemikiran Mu’tazilah yang telah di paparkan di atas, maka kita dengan mudah akan mengetahui bahwa apa yang banyak mereka bahas adalah ayat-ayat mutasyabihat. Ambil saja cotohnya tentang sifat-sifat Allah yang Allah sendiri (dalam Al Qur’an) tidak menerangkannya secara detil (tafsil). Lalu, dengan kecondongan kepada kesesatan, mereka mencari-cari ta’wil yang seluruhnya disandarkan pada akal rasional. Akhirnya sampailah mereka pada kesimpulan ayng sesat (sesuai kecondongan mereka) dengan mengaatakan bahwa Allah tidak memiliki sifat azali kalam, Bashar, dan lain sebagainya. Lebih sesat lagi mereka mengatakan dan meyakini bahwa Allah tidak bisa dilihat oleh mata manusia bahkan Allah sendiri tidak bisa melihat “diri”-Nya! sungguh kesesatan yang nyata.
Selanjutnya, karena kepuasanya manggunakan akal, mereka pun munggunakannya dalam segala permasalahan hingga akhirnya menjadikannya sebagai satu-satunya sandaran, menyingkirkan al Qur’an yang sebelumnya telah dilemahkan kedudukannya dengan mengatakan bahwa al Qur’an adalah makhluk Allah yang berperspektif telah dan memiliki kekuatan; dan melupakan sunnah (juga) sebagai sumber hukum. Dari realita tersebut, pantaslah jika Mu’tazilah kita golongan ke dalam kelompok yang hatinya condong pada kesesatan seperti disitir dalam Ali Imran ayat tujuh di atas.
Sementara sebagai negasi dari kelompok yang hatinya condong pada kesesatan, Allah menyebutkan orang-orang yang ilmunya mendalam (al rasikhuna fi’l’ilmi) dan menjelaskan pendirian mereka dihadapan ayat-ayat mutasyabihat, mereka berkata,”Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” Mereka itulah para Ulul Albab (orang yang berakal), satu-satunya golongan yang bisa mengambil pelajaran.
Jika al Qur’an mengatakan bahwa orang yang berkata,”Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi kami.” Adalah orang yang mendalam ilmunya dan dinamainya dengan ulul albab (orang yang berakal), lalu dinmakan Mu’tazilah berada jika bukan di golongan (yang cenderung pada) kesesatan?
Secara logika sehat (rasional) sendiri, ideologi Mu’tazilah sudah terpatahkan. Coba kita bukan cakrawala kita dengan bebas menembus seluruh alam semesta, bayangkan ribuan bintang, planet, meteorid dan berbagai benda angkasa yang ada di semesta; lalu kembali lagi ke bumi yang usianya sudah bermilyar-milyaran tahun, bayangkan gunung dengan segala karakteristik dan isinyaa, bayangkan hutan dengan bintang-bintang yang mengisinya dengan berbagai macam jenis dan bentuknya, kemudian saksikan laut yang lebih luas dari daratan yang sangat menyimpan rahasia yang tidak banyak diketahui, Adakah, dalam sejarah, seseorang dengan kekuatan akalnya mampu mengetahui seluruh benda makhluk Allah itu?
Jika makhluk-makhluk-Nya saja tidak mampu difikirkan, apa jaminannya akal akan mampu memikirkan Allah, Sang pencipta! Sungguh kesombongan yang nyata mengisi rongga hati manusia yang ngotot ingin memikirkan dan merasionalisasikan Allah. Mereka adalah manusia yang men-tuhan-kan hawa nafsu, nafsu intelektual mereka. Tentang hal ini Allah berfirman:
“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mngunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?” (Qs. Al Jasiyah,45;23)
E. Pemikiran Kalam Mu’tazilah
a. Pengertian
Kata Mu’tazilah berasal dari bahasa Arab a’tazala, artinya mengambil jarak memisahkan diri (Cyirl Glase : 292). Untuk mengetahui sejarah sebutan Mu’tazilah sangat sulit, karena banyak pendapat yang diajukan untuk menjelaskan awal kelahirannya. Diantara pendapat-pendapat tersebut antara lain:
Pertama, Disebut Mu’tazilah karena Washil bin Ata dan Amr bin ‘Ubaid menjauhkan diri (i’tazala) dari pengajian Hasan al-Basri di masjid Bashrah, kemudian membentuk pengajiannya sendiri, sebagai kelanjutan pendapatnya bahwa orang yang mengerjakan dosa besar, tidak mukmin lengkap dan juga tidak kafir lengkap, melainkan berada dalam satu tempat diantara dua tempat (Harun Nasution : 38).
Kedua, Pendapat kedua menyebutkan bahwa Wasil bin “Ata dan Amr bin ‘Ubaid diusir oleh Hasan al Basri dari majlisnya karena adanya perbedaan pendapat mengenai qadar dan tempat diantara dua tempat keduanya beserta pengikutnya memisahkan diri dari Hasan al Basri. Mereka disebut Mu’tazilah, karena menjauhkan diri faham umat Islam. Ketiga, Istilah i’tazala dan Mu’tazilah telah lama dikenal sebelum terjasinya peristiwa Basrah tersebut. Pendapat ini merujuk kepada sejarah yang menyebutkan bahwa awal kesadaran Mu’tazilah telah lama berkembang sebelum peristiwa Wasil bin ‘Ata dan Hasan al Basri. Pada saat itu sebutan Mu’tazilah diberikan kepada komunitas yang tidak melibatkan diri dalam konflik politik antara Ali dan Muawiyyah (Tha’ib Tahir : 102).
Berbagai pendapat di atas menunjukan tidak adanya satu kata sepakat dalam sejarah awal kelahiran aliran Mu’tazilah. Tetapi yang sangat jelas adalah aliran Mu’tazilah merupakan aliran teologi liberal dan rasional dalam islam, yang timbbul setelah peristiwa Wasil bin ‘Ata dan Hasan Al Basri.
Sementara kaum Mu’tazilah sendiri lebih menyukai sebutan ahlul ‘adli wa al tauhid, mereka mengakui diri sebagai golongan pembela ketauhidan dan keadilan.
b. Sumber-sumber Pemikiran Mu’tazilah
Secara garis besar, sumber tradisi pemikiran Mu’tazilah ada 4, yaitu:
1. Tradisi politik Islam
Doktrin-doktrin aliran Mu’tazilah sangat berkaitan dengan pemikiran kalam, teteapi secara historis mengandung muatan-muatan politik. Berdasarkan historiografis, jjika melihat konteks sosial ketika doktrin Mu’tazilah itu muncul, akan di temukan bahwa persoalan yang berkembang pada saat itu adalah masalah sifat Tuhan, yaitu sifat al qudrat dan al iradat, apakah tuhan secara azali sudah menetapkan dan menghendaki perbuatan manusia atau tidak. Kemudian melahirkan perseteruan antara yang meyakini kebebasan manusia yang melahirkan aliran qadariah awal dan yang menafikan kebebasan manusia yang melahirkan mazhab jabariah.
Doktrin Mu’tazilah mengenai kebebasan berkehendak dan doktrin lainnya, dijadikan kekuatan untuk melawan pihak penguasa (Umayah) yang mempertahankan rezimnya dengan argumentasi takdir Tuhan sebagaimana yang dikemukakan tradisionalis (jabariyah) (Cyril Glase:292). Dalam peerjalanan sejarah dapat dilihat mazhab jabariyahkalah yang menjadi ideologi negara yang dianut pada masa Umayah, utnuk melindungi dan melegitimasi supremasi kekuasaan yang korup (Hendar Riyadi: 219). Mazhab Qadariyah yang berkeyakinan akan kebebasan manusia menjadi oposisi pemerintah Umayah. Diantara pertikaian poitik antara Jabariyah dan Qadariyah ini muncul Wasil bin ‘Ata dengan al-manzilat baina al-manzilatain (tempat diatara dua tempat). Pertentangan politik tersebut kemudian dimenangkan oleh Abbasiyyah yang di dalamnya Mu’tazilah turut berperan.
F. Tradisi Filsafat Yunani
Ali Musthafa al-Ghurabi seperti yang dikutip oleh Hedar Riayadi membagi kesadaran Mu’tazilah kepada 3 periode :
Pertama, Generasi ke-1 yang diwakili oleh Wasil bin ‘Ata dan Amr bin Ubaid. Wasil hidup pada nasa pemerintahan Umayah, sedangkan Amr bin Ubaid mengetahui periode awal pemerintahan abbasiyyah. Generasi ke-1 ini belum dan tidak banyak bersentuhan dengan tradisi Yunani, maka pandangan teologisnya masih bersumber pada teks keagamaan (al Qur’an dan al Sunnah). Hal ini disebabkan karena Mu’tazilah lahirnya di madinah tempat para sahabat dan tabi’in berkumpul memegang teguh teks-teks teologis yang sumbernya dari al Qur’an dan al Sunnah.(Hedar Riyadi:221). Meskipun demikian generasi ke-1 ini telah menggunakan kecenderungan penggunaan akal/rasio, karena pada saat itu Mu’tazilah telah bersentuhan dengan tradisi rasionalisasi dari Irak (persia).
Kedua, generasi kedua diwakili oleh Abu al-Huzail dan al-Zahzam. Generasi kedua ini telah mengenal dari dekat dan mempelajari filsafat yunani. Kecuali alat berpikir logika dari Grik dan Nyaya dari India, maka aliran filsafat yang hidup dalam lingkungan lawan tiu haruslah di dalami dan dikuasai sebaik-baiknya (Joesoef Sou’yb: 14). Dengan begitu terjadilah kegiatan besar dalam bidang penyalinan literatur Grik, India, Siryani, Kopti dan Iran ke dalam bahasa Arab, taerutama pada masa Khalifah al Ma’mun dan khalifah berikutnya. Menurut al-Jabiri, penerjemahan karya-karya filsafat Yunani sebagai kerja ilmiah yang dilakukan al Ma’mun merupakan bagian dari strategi umum yang dilakukan Dinasti Abbasiyyah. Sebab pada saat itu ada nalar-nalar pesaing yang bersifat ideologis untuk menaburkan benih keraguan terhadap islam dan untuk menurunkan Dinasti Abbasiyyah. Mereka memanfaatkan segala prinsip yang ada dalam peradaban-peradaban asing yang mereka kenal. Sejak dulu sudah nampak bahwa al-Allaf dan al-Nazham membuka pemikirannya untuk menerima sebagian pandangan filosofis Yunani (A Hanafi MA : 40). Penerjemahan buku-buku dan sumber tradisi yunani tersebut telah memberi pengaruh terhadap bahasa, paradigma berpikir dan keilmuan aliran Mu’tazilah. Jadi sumber nalar aliran Mu’tazilah selain al-Qur’an dan al-Sunnah juga pandangan masyarakat asing yang masuk dalam pergaulan islam dan buku-buku filsafat Yunani.
Ketiga, Generasi yang diwakili oleh Abu’Ali al Juba’i dan Abu Hasyim. Penerjemahan karya-karya Yunani terus berlanjut, hanya saja khalifah al-Makmun telah meniggal. Mu’tazilah mengalami kemunduran terutama ketika khalifah al-Mutawakili mendeklarasikan pencabutan mazhab Mu’tazilah sebagai mazhab resmi negara.
G. Penutup
Aliran pemiiran Mu’tazilah dalam perkembangan pemikiran islam, merupakan kajian yang sangat menarik dan signifikan. Disebut menarik, karena aliran Mu’tazilah merupakan aliran teologi islam yang tertua dan terbesar yang telah memainkan peranan penting dalam pemikiran dunia islam. Hal menarik lainnya karena Mu’tazilah merupakan representasi kesadaran dunia islam dalam kemajuan dan kemoderenannya. Disebut signifikan karena mempelajari tentang aliran Mu’tazilah merupakan bagian dari upaya strategis dalam mengembalikan wacana kesadaran islam sebagai counter peradaban (civilization cuonter) terhadap dominasi kultural barat. Siginikansi lainnya karena metodologi interpretasi aliran Mu’tazilah memberikan kontribusi yang luar biasa besarnya dalam melakukan transformasi sosial, politik, budaya, dan ekonomi bagi peradaban islam masa kini.
Mu’tazilah sendiri adalah golongan yang membawa persoalan-persoalan teologi yang lebih mendalam dan bersifat filosofis dari pada persoalan-persoalan teologi-teologi dalam islam lainnya, mereka dalam membahasnya, mereka banyak memakai akal sehingga mereka mendapat nama “kaum rasionalis islam”.

Selasa, 29 Mei 2012


Solusi Efektif Pengganti Ujian Nasional


Gonjang-ganjing Ujian Nasional (UN) tela menjadi polemik yang tak terselesaikan di Indonesia. setiap tahun ada saja masala yang mencuat terkait penyelenggaraan UN. Beberapa diantaranya seperti Makelar Jawaban, Jual beli soal, pencurian soal, unjukrasa, kasus-kasus bunuhdiri, frustasi, dan dampak psikologis terkait siswa/siswi yang tidak lulus dan lain-lain.


penyelenggaraan UN menjadi momok menakutkan bagi siswa/siswi kelas tiga SMP maupun SMA. Beban yang dipikul pelajar jenjang pendidikan pada kelas tiga ini sangat berat. untuk mencapainya, mereka harus belajar dengan sangat keras. Ada yang menambah jam belajar, mengikuti les tambahan, bahkan kursus private. Ini bagi mereka yang mampu membayar. Bagaimana dengan yang tidak mampu? kesibukan menyiapkan diri menghadapi UN ini menyebabkan siswa/siswi kehilangan waktu untuk istirahat dan bersosialisasi dengan keluarga maupun lingkungan sekitarnya sehingga siswa/siswi terkesan menjalani hidup yang tidah alamia/wajar dan penuh tekanan. Ini tidak baik bagi perkembangan emosional siswa/siswi yang bersangkutan.

Output dari UN sendiri dinilai tidak mampu mewakili kualitas akademik/non akademik seorang siswa/siswi. Banyak kasus siswa/siswi berprestasi yang tidak lulus UN. sebaliknya, banyak juga siswa yang tidak pandai secara akademik mendapatkan nilai yang baik saat UN. Apa pertanyaan yang paling tepat untuk mewakili kenyataan ini?
Selama ini belum ada formula yang efektif untuk menggantikan UN. Pemerintah dituntut untuk menaikkan standar pendidikan. Cara pemerintah yang dapat dilihat orang awam adalah dengan selalu menaikkan angka standar lulus. Jika standar ini diterapkan terus, bagaimana dengan sekolah di desa terpencil yang gurunya cuma tiga orang untuk melayani tiga kelas?bagaimana dengan sekolah yang yang tidak memiliki sarana prasarana seperti laboraturiun dan perpustakaan? apakah mereka akan mampu menjawab soal yang sama dengan anak-anak di ibukota yang jelas sekali perbedaannya? tidak adanya pemerataan ini menyebabkan penerapan UN tidak dapat meratakan kualitas pendidikan di Indonesia.

Dengan memulai dari tulisan ini saya mencoba menawarkan satu solusi baru (atau mungkin sudah lama tetapi tidak diperhatikan) kepada para pembaca. Solusi ini saya beri nama “Nilai Akhir Kumulatif”. Inti dari metode ini adalah dengan mengumpulkan Nilai laporan pendidikan selama tiga tahun untuk dijadikan Nilai Akhir kumulatif. Rekapitulasi nilai siswa/siswi yang dihitung secara kumulatif lebih mewakili prestasi belajar siswa/siswi selama tiga tahun dibandingkan nilai UN yang hanya tiga hari. dengan menerapkan metode ini, peran guru yang beberapa waktu ini hilang karena kekakuan dari UN akan kembali seperti sediakala. Perlu diketahui, guru lebih mengenal siswa/siswinya dibandingkan dengan mesin pengolah data UN.
Pemerintah dapat mengatur berapa Standar “Nilai Akhir Kumulatif” yang dibutuhkan sebagai syarat kelulusan. Siswa/siswi tidak akan merasa kecewa jika kerja kerasnya selama tiga tahun dinilai dengan prestasi belajar yang diperoleh selama tiga taun pula. Demikian juga dengan guru, meraka akan rela dan senang melepaskan siswa/siswinya ke jenjang yang lebih tinggi dengan penilaian akhir seperti ini, karena sangat mewakili apa yang mereka peroleh selama tiga tahun.

Beberapa hal yang saya keunggulan dan rekomendasi dari solusi yang saya tawarkan ini:
  1. Pemerintah mengkaji ulang tulisan ini untuk mendapatkan hasil yang lebih representatif


  2. Masalah makelar soal, jual beli soal, penipuan dan pencurian terkait UN, dan lain-lain akan dapat dihapuskan.


  3. Peran guru akan kembali seperti sediakala, dan peran guru sangat sentral dalam memajukan standar pendidikan.


  4. Nilai Akhir kumulatif dapat mewakili prestasi belajar siswa/siswi selama yang bersangkutan menempuh jenjang pendidikan. Demikian juga, metode ini mewakili kinerja guru selama mereka mengajar.


  5. Dampak psikologis bagi siswa/siswi, guru, maupun orang tua akan berkurang. Siswa/siswi tidak tertekan dan memiliki waktu untuk bersosialisasi dengan sekelilingnya.

Solusi yang saya tawarkan ini perlu dikaji dan dikoreksi lagi untuk mendapatkan metode yang yang lebih rinci dan teliti. Ide ini sendiri muncul ketika saya berdiskusi dengan Rockhiey (Teman satu Prodi dan satu organisasi dengan saya) tentang masalah UN di Indonesia. kita berdua begitu prihatin dengan masalah UN. dan lahirlah Ide ini. semoga bermanfaat.

Minggu, 18 Maret 2012

KEMUNDURAN PENDIDIKAN ISLAM 
DAN PENYEBABNYA
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Makna Pendidikan Islam secara khusus tidak dapat secara keseluruhannya disamakan dengan makna pendidikan secara umum. Pendidikan Islam dikenal dan diyakini oleh penganut agama Islam sebagai suatu kegiatan pendidikan yang bersumber dari dogma ajaran Islam dengan nilai-nilai universal yang terkandung di dalamnya yang senantiasa mempertimbangkan pengembangan fitrah manusia atau potensi-potensi yang dimiliki manusia selaku makhluk. 
Untuk itu dalam sebuah lembaga pendidikan pasti terjadi pertumbuhan dan perkembangan, sama halnya denagn dipendidikan islam. Dalam pendidikan Islam ada beberapa masa yaitu ada masa kejayaan, masa kemunduran dan ada pula masa pembaharuan. Maka dalam makalah akan dijelaskan lebih lanjut tentang masa kemunduran pendidikan islam serta penyebabnya. 

PEMBAHASAN
A. Gejala-gejala Kemunduran Pendidikan Islam
Sepanjang sejarahnya, sejak awal dalam pemikiran terlibat dua pola yang saling berlomba mengembangkan diri dan mempunyai pengaruh besar dalam pengembangan pola pendidikan ummat islam. Kedua pola tersebut adalah : Pola pemikiran tradisional dan Pola pemikiran rasional. Pada pola pemikiran tradisional ini selalu mendasarkan diri pada wahyu, yang kemudian berkembang menjadi pola pemikiran sufistis dan mengembangkan pola pendidikan sufi yang sangat memperhatikan aspek-aspek batiniyah dan akhlak atau budi pekerti manusia. 
Pada masa jayanya pendidikan islam, kedua pola pendidikan tersebut menghiasi dunia islam, sebagai dua pola yang berpadu dan saling melengkapi. Akan tetapi ketika pola pemikiran rasional diambil alih oleh Eropa dan dunia islam pun meninggalkan pola berfikir tersebut. Sehingga tinggal pemikiran sufistis yang sifatnya memang sangat memperhatikan kehidupan batin yang akhirnya mengabaikan dunia material. Dari aspek inilah dikatakan bahwa pendidikan dan kebudayaan islam mengalami kemunduran. 
M. M Sharif dalam bukunya Muslim Thought, mengungkapkan bahwa gejala kemunduran pendidikan dan kebudayaan Islam tersebut sebagai berikut : ”.....telah kita saksikan bahwa pikiran Islam telah melaksanakan satu kemajuan yang hebat dalam jangka waktu yang terletak di antara abad ke VIII dan abad ke XIII M ... kemudian kita memperhatikan hasil-hasil yang diberikan kaum muslimin kepada Eropa, sebagai satu perbekalan yang matang untuk menjadi dasar pokok dalam mengadakan pembangkitan Eropa (renaissence)”.
Dalam hal ini Fazlur Rahman, dalam bukunya Islam, menjelaskan tentang gejala-gejala kemunduran intelektual Islam adalah sebagai berikut :
Penutupan pintu ijtihad (yakni, pemikiran yang orisinal dan bebas) selama abad ke-4 H/10 Mdan 5 H/11 M telah membawa kepada kemacetan umum dalam ilmu hukum dan ilmu intelektual. Ilmu-ilmu intelektual, yakni teologi dan pemikiran keagamaan, sangat mengalami kemunduran dan menjadi miskin karena pengucilan mereka yang disengaja dari intelektualisme sekuler dan karena kemunduran yang disebut terakhir ini, khususnya filsafat, dan juga pengucilannya, dari bentuk-bentuk pemikiran keagamaan seperti yang dibawa oleh sufisme.
Kehancuran total yang dialami oleh kota Bagdad dan Granada sebagai pusat-pusat pendidikan dan kebudayaan Islam, menandai runtuhnya sendi-sendi pendidikan dan kebudayaan Islam. Musnahnya lembaga-lembaga pendidikan dan semua buku-buku ilmu pengetahuan dari kedua pusat pendidikan di bagian Timur dan Barat dunia Ialam tersebut, menyebabkan pula kemunduran pendidikan diseluruh dunia islam, terutama dalam bidang intelektual dan meterial, tetapi tidak demikian halnya dalam bidang kehidupan batin atau spiritual.

B. Faktor-faktor Penyebab Kemunduran Pendidikan Islam
Untuk menjelaskan faktor penyebab kemunduran ummat islam secara eksternal kita rujuk paparan al-Hasan, faktor-faktor tersebut adalah :
Faktor ekologi dan alami, yaitu kondisi tanah dimana negara-negara islam berada adalah gersang, atau semi gersang. Kondisi ini juga rentan dari sisi pertahanan dari serangan luar. Demikian pula di tahun 1347-1349 terjadi wabah penyakit yang mematikan di Mesir, Syiria dan Iraq. Karena faktor ini penduduk tidak terkonsentrasi pada suatu kawasan tertentu dan kepada pendidikan.
Perang salib yang terjadi dari 1096-1270, dan serangan Mongol dari tahun 1220-1300an. ”Perang Salib” menurut Bernand Lewis,” pada dasarnya merupakan pengalaman pertama imperialisme barat yang ekspansionis, yang dimotivasi oleh tujuan materi dengan menggunakan agama sebagai medium psikologisnya. 
Hilangnya perdagangan islam internasional dan munculnya kekuatan barat. Pada tahun 1492 Granada jatuh dan secara kebetulan Columbus mulai petualangannya. Dalam mencari rute ke India ia menempuh jalur yang melewati negara-negara islam. Pada saat yang sama Portugis juga mencari jalan ke Timur dan juga melewati negara-negara islam. Disaat itu kekuatan ummat islam baik di laut maupun di Barat dalam sudah memudar. Akhirnya pos-pos perdagangan itu dengan mudah dikuasai mereka.
Menurut Ibnu Khaldun faktor-faktor penyebab runtuhnya sebuah peradaban lebih bersifat internal dari pada eksternal. Suatu peradaban dapat runtuh karena timbulnya materialisme, yaitu kegemaran penguasa dan masyarakat menerapkan gaya hidup malas yang disertai sikap bermewah-mewah. Sikap ini tidak hanya negatif tapi juga mendorong tindak korupsi dan dekadensi moral.
Selanjutnya diungkapkan oleh M. M Sharif, bahwa pikiran Islam menurun setelah abad ke XIII M dan terus melemah sampai abad ke XVIII M. Diantara sebab-sebab melemahnya pikiran Islam tersebut, antara lain dilukiskannya sebagai berikut:
Telah berkelebihan filsafat islam (yang bercorak sufistis) Al-Ghazali di Timur dan berkelebihannya pula Ibnu Rusyd dalam memasukkan filsafat islamnya (yang bercorak rasionalistis) ke dunia islam barat. Sehingga Al-Ghazali dengan filsafat islamnya menuju kerohania hingga menghilang ke dalam maga tasawuf mendapat sukses di timur, dan Ibnu Rusd dengan filsafatnya yang bertentangan dengan Al-Ghazali dengan munuju ke jurang materialisme mendapat sukses di Barat.
Ummat islam, terutama pada pemerintahannya (khalifah, sultan, amir-amir) melalaikan ilmu pengetahuan dan kebudayaan yang mana pada mulanya mereka memberi kesempatan untuk berkembang dan memperhatikan ilmu pengetahuan dengan memberikan penghargaan yang tinggi kepada para ahli ilmu pengetahuan. Namun pada masa ini mereka lebih mementingkan pemerintahan, begitu juga dengan para ahli ilmunya yang telibat dalam urusan-urusan pemerintahan.
Terjadinya pemberontakan-pemberontakan yang dibarengi dengan serangan dari luar, sehingga menimbulkan kehancuran yang mengakibatkan berhentinya kegiatan pengembangan ilmu pengetahuan di dunia islam.
Itulah diantara atau beberapa faktor-faktor kemunduran pendidikan islam baik dari segi eksternal maupun internal yang dapat kami amati

C. Dampak dari Kemunduran
Dari beberapa faktor yang telah dipaparkan diatas yang pasti ada dampak yang terjadi baik terhadap ummat islam itu sendiri dan terutama pada pendidikan yang mana dengan semakin ditinggalkanya pendidikan intelektual, maka semakin statis perkembangan kebudayaan islam, karena daya intelektual generasi penerus sudah tidak mampu lagi untuk mengadakan kreasi-kreasi baru, bahkan telah menyebabkan ketidakmampuan untuk mengatasi persoalan-persoalan baru yang dihadapi.
Dalam bidang fiqh, yang terjadi adalah berkembangnya taqlid buta dikalangan ummat. Apa yang sudah ada dalam kitab-kitab fiqh lama dianggapnya sebagai sesuatu yang sudah baku, mantap, benar, dan harus diikuti serta dilaksanakan sebagaimana adanya. Dengan sikap hidup yang fatalistis tersebut, kehidupan mereka sangat statis.
Ketika ummat islam mengalami kehancuran dan kemunduran dalam pendidikan terutama dalam bidang intelektual, maka pada waktu itu kehidupan sufi berkembang dengan pesat. Karena keadaan frustasi yang merata dikalangan ummat sehingga menyebabkan orang kembali kepada Tuhan (bersatu dengan Tuhan ) sebagaimana diajarkan oleh para ahli sufi.
Kemunduran dan kemerosotan mutu pendidikan dan pengajaran juga nampak jelas pada sangat sedikitnya materi kurikulum dan mata pelajaran serta menyempitnya bidang-bidang ilmu pengetahuan umum di madrasah-madrasah. Sehingga kurikulum pada umumnya madrasah-madrasah terbatas hanya pada ilmu-ilmu keagamaan murni seperti : Tafsir, Al-Qur’an, hadits, fiqh (termasuk ushul fiqh) dan ilmu kalam atau teologi bahkan dalam ilmu kalam pun masih ada madrasah-madrasah yang mencurigai. 
Dengan materi yang sangat sederhana ternyata total buku yang harus dipelajari pun sangat sedikit. Begitupun dengan sistem pengajaran pada masa itu yang sangat beroritentasi pada buku pelajaran sehingga sering terjadi pelajaran hanya memberikan komentar-komentar atau syarah terhadap buku-buku pelajaran yang dijadikan pegangan oleh guru tanpa ada pasokan pendapat sendiri dari guru tersebut.
Oleh karena itu perkembangan ilmu pengetahuan pada masa ini dapat dikatakan macet total. Keadaan yang demikian berlangsung selama masa kemunduran kebudayaan dan pendidikan islam, sampai abad ke 12 H/18 M.


PENUTUP
KESIMPULAN 

 Pada masa jayanya pendidikan islam, ada dua pola pendidikan yang menghiasi dunia islam, sebagai dua pola yang berpadu dan saling melengkapi, yaitu pola pemikiran tradisional dan pola pemikiran rasional. Akan tetapi ketika pola pemikiran rasional diambil alih oleh Eropa dan dunia islam pun meninggalkan pola berfikir tersebut. Sehingga tinggal pemikiran sufistis yang sifatnya memang sangat memperhatikan kehidupan batin yang akhirnya mengabaikan dunia material. Dari aspek inilah dikatakan bahwa pendidikan dan kebudayaan islam mengalami kemunduran. 
 Faktor-faktor yang menyebabkan kemunduran pendidikan islam yaitu: 
a. Faktor ekologi dan alami, yaitu kondisi tanah dimana negara-negara islam berada adalah gersang, atau semi gersang. Kondisi ini juga rentan dari sisi pertahanan dari serangan luar.
b. Perang salib yang terjadi dari 1096-1270, dan serangan Mongol dari tahun 1220-1300an. 
c. Hilangnya perdagangan islam internasional dan munculnya kekuatan barat. 
d. Suatu peradaban dapat runtuh karena timbulnya materialisme, yaitu kegemaran penguasa dan masyarakat menerapkan gaya hidup malas yang disertai sikap bermewah-mewah.
e. Telah berkelebihan filsafat islam (yang bercorak sufistis) Al-Ghazali di Timur dan berkelebihannya pula Ibnu Rusyd dalam memasukkan filsafat islamnya (yang bercorak rasionalistis) ke dunia islam barat.
f. Ummat islam, terutama pada pemerintahannya (khalifah, sultan, amir-amir) melalaikan ilmu pengetahuan dan kebudayaan, mereka lebih mementingkan pemerintahan daripada pengetahuan. Dan banyaknya ilmuan yang terjun dipemerintahan. 
g. Terjadinya pemberontakan-pemberontakan yang dibarengi dengan serangan dari luar, sehingga menimbulkan kehancuran yang mengakibatkan berhentinya kegiatan pengembangan ilmu pengetahuan. 
 Dari beberapa faktor yang telah dipaparkan diatas yang pasti ada dampak yang terjadi baik terhadap ummat islam itu sendiri dan terutama pada pendidikan yang mana dengan semakin ditinggalkanya pendidikan intelektual, maka semakin statis perkembangan kebudayaan islam, karena daya intelektual generasi penerus sudah tidak mampu lagi untuk mengadakan kreasi-kreasi baru, bahkan telah menyebabkan ketidakmampuan untuk mengatasi persoalan-persoalan baru yang dihadapi

DAFTAR PUSTAKA

Hanun Asrahah.1999.Sejarah Pendidikan Islam.Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu.
Zuhairini.1997.Sejarah Pendidikan Islam.Jakarta: Bumi Aksara. 

Selasa, 17 Mei 2011

Mata Kuliah : TAFSIR TARBAWI
Dosen Pembimbing : Umar Hashona, M.Pd.I.


 PAI B / Semester: 4 (Empat)
1.      Evi Nuryati                 (2093464)
2.      Ilham Muliawan S.      (2093471)
3.      Mizanul Akrom           (2093475)

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM  NAHDLATUL ULAMA
 (STAINU) KEBUMEN
JL.Tentara Pelajar 55 B Kebumen
TAHUN AJARAN 2010/2011
KATA PENGANTAR
            Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Puji syukur kepada Sang Illahi Robbi yang mana atas berkat dan Rahmat-Nyalah kami bisa menyelesaikan makalah ini, tak lupa sholawat dan salam marilah kita limpah curahkan kepada Guru besar kita Yakni Nabi Muhammad SAW, tanpa adanya beliau mungkinkah kita terbebas dari zaman kebodohan.
Makalah ini kami susun guna memenuhi tugas mata kuliah tafsir tarbawi di STAINU Kebumen. Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada:
·         Bapak Umar Hashona M.Pd.I. selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan kepada kami 
·         Orang tua kami yang selalu memberikan  doa dan dukungan dalam menuntut ilmu
·         Rekan-rekan kelompok yang telah menyumbangkan tenaga dan pikirannya untuk menyusun makalah ini
·         Rekan-rekan mahasiswa dan seluruh pihak yang bersedia memberikan partisipasi dalam penyusunan makalah ini.

Manusia pasti memiliki kekurangan seperti halnya dalam pembuatan makalah ini pun kami banyak sekali kekurangan. Untuk itu, kami selalu mengharap kritik dan saran dari pembaca guna kemajuan bersama.
Akhir kata dari penulis mengucapkan banyak terima kasih.
Wasalamua’laikum Wr.Wb.
Kebumen, April 2011

                                                                                                Penulis



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Banyak orang yang salah mengartikan akan suatu ayat yang terdapat dalam Al-Qur’an, sehingga orang bisa saja mengartikan berbagai ayat dalam Al-Qur’an dengan tidak melihat berbagai sumber termasuk tafris-tafsir yang sudah ada. Banyak sekali buku-buku atau tafsir-tafsir yang seharusnya kita gali untuk mengkaji berbagai ayat. Salah satunya adalah tafsir al-Maraghi. Al-Qur’an bukanlah kitab suci yang siap pakai dalam arti berbagai konsep yang dikemukakan al-Qur’an tersebut, tidak langsung dapat dihubungkan dengan berbagai masalah yang dihadapi manusia. Ajaran Al-Qur’an tampil dalam sifatnya yang global, ringkas dan general sehingga untuk dapat memehami ajaran Al-Qur’an tentang berbagai masalah tersebut, mau tidak mau seseorang harus melalui jalur tafsir sebagimana yang dilakukan oleh para ulama.

B.     Rumusan Masalah

1. Apa tafsiran surat At-taubah ayat 122 ?

C.    Tujuan Penulisan
1.      Sebagai salah satu tugas mata kuliah Tafsir Tarbawi
2.      Menambah wawasan mengenai ayat dalam Al-Qur’an yang mengenai kewajiban belajar mengajar
3.      Menambah pengetahun dari tafsir Surat At-taubah ayat 122


















DAFTAR ISI
SAMPUL HALAMAN DEPAN
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
A.    TAFSIR SURAT AT-TAUBAH AYAT 122
B.     PENAFSIRAN KATA-KATA  SULIT
C.    PENGERTIAN SECARA UMUM
D.    PENJELASAN
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA















BAB II
PEMBAHASAN
A.    TAFSIR SURAT AT-TAUBAH AYAT 122
$tBur šc%x. tbqãZÏB÷sßJø9$# (#rãÏÿYuŠÏ9 Zp©ù!$Ÿ2 4 Ÿwöqn=sù txÿtR `ÏB Èe@ä. 7ps%öÏù öNåk÷]ÏiB ×pxÿͬ!$sÛ (#qßg¤)xÿtGuŠÏj9 Îû Ç`ƒÏe$!$# (#râÉYãŠÏ9ur óOßgtBöqs% #sŒÎ) (#þqãèy_u öNÍköŽs9Î) óOßg¯=yès9 šcrâxøts ÇÊËËÈ
Artinya: Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka Telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya. (Q.S. At- Taubah: 122).
B.     PENAFSIRAN KATA-KATA  SULIT:
نفرNafara                :   berangkat perang
لولا  Laula                : Kata-kata yang berarti anjuran dan dorongan melakukan sesuatu yang disebutkan sesudah kata-kata tersebut, apabila itu terjadi dimasa yang akan datang. Tapi Laula juga berarti kecemasan atas meninggalkan perbuatan yang disebutkan sesudaah kata itu, apabila merupakan hal yang telah lewat. Apabila hal yang dimaksud merupakan perkara yang mungkin dialami, maka bias sajaLaula”, itu berarti perintah mengerjakannya.
الفرقة  - Al- Firqah     : kelompok besar
الطائفةAt- Ta’ifah   : kelompok kecil
تفقهTafaqqaha       : berusaha keras untuk mendalami dan memmahami suatu perkakara dengan susah payah untuk memperolehnya.
انذرهAnzarahu       : menakut-nakuti dia.
حذرهHazirahu       : berhati-hati terhadapnya.
C.    PENGERTIAN SECARA UMUM
Ayat ini menerangkan kelengkapan dari hukum-hukum yang menyangkut perjuangan. yakni, hukum mencari ilmu dan mendalami agama. Artinya, bahwa pendalaman ilmu agama itu merupakan cara berjuang dengan menggunakan hujjah dan penyampaian bukti-bukti dan juga merupakan rukun terpenting dalam menyeru kepada Allah SWT dan menegakkan sendi-sendi islam. Karena perjuangan yang menggunakan pedang itu sendiri tidak disyariatkan kecuali untuk jadi benteng dan pagar dari dakwah tersebut, agar jangan dipermainkan oleh tangan-tangan ceroboh dari orang-orang kafir dan munafik.
Menurut riwayat Al-Kalabi dari Ibnu ‘Abbas, bahwa dia mengatakan, “setelah Alloh SWT mengecam keras terhadap orang-orang yang tidak menyertai Rosul Saw dalam peperangan, maka tidak seorangpun diantara kami yang tinggal untuk tidak menyertai bala tentara atau utusan perang buat selama-lamanya. Hal ini benar-benar mereka lakukan, sehingga tinggallah Rosululloh Saw sendirian. Maka turunlah wahyu:
bqãZÏB÷sßJø9$#c%x.$tBur
D.    PENJELASAN
( p©ù!$Ÿ2#rãÏÿYuŠÏ9 bqãZÏB÷sßJø9$#c%x.$tBur)
Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang)”
Tidaklah patut bagi orang-orang mukmin, dan juga tidak dituntut supaya mereka seluruhnya berangkat menyertai setiap utusan perang yang keluar menuju medan perjuangan. Karena, perang itu sebenarnya fardu kifayah, yang apabila telah dilaksanakan oleh sebagian maka gugurlah yang lain, bukan fardu ain, yang wajib dilaksanakan setiap orang. Perang barulah menjadi wajib, apabila Rosul Saw sendiri keluar dan mengerahkan kaum mu’min menuju medan perang.
Kewajiban Mendalami Agama dan Kesiapan Untuk Mengajarkannya.
) Ÿwöqn=sù txÿtR `ÏB Èe@ä. 7ps%öÏù öNåk÷]ÏiB ×pxÿͬ!$sÛ (#qßg¤)xÿtGuŠÏj9 Îû Ç`ƒÏe$!$# (#râÉYãŠÏ9ur óOßgtBöqs% #sŒÎ) (#þqãèy_u öNÍköŽs9Î) óOßg¯=yès9 šcrâxøts (
Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.”
            Mengapa tidak segolongan saja, atau sekelompok kecil saja yang berangkat kemedan tempur dari tiap-tiap golongan besar kaum mu’min, seperti penduduk suatu negeri atau suku, dengan maksud supaya orang mukmin seluruhnya dapat mendalami agama mereka. Yaitu dengan cara orang yang tidak berangkat dan tinggal dikota (Madinah), berusaha keras untuk memahami agama, yang wahyu-Nya turun kepada Rosululloh Saw yang menerangkan ayat-ayat tersebut, baik dengan perkataan atau perbuatan. Dengan  demikian maka diketahui hukum beserta hikmahnya, dan menjadi jelas yang masih mujmal dengan adanya perbuatan Nabi tersebut. Disamping itu orang yang mendalami agama memberi peringatan kepada kaumnya yang pergi perang menghadapi musuh, apabila mereka telah kembali kedalam kota.
            Artinya, agar tujuan utama dari orang-orang yang mendalami agama itu karena ingin membimbing kaumnya, mengajari mereka dan memberi peringatan kepada mereka tentang akibat kebodohan dan tidak mengamalkan apa yang mereka ketahui, dengan harapan supaya mereka takut kepada Alloh SWT dan berhati-hati terhadap akibat kemaksiatan, disamping agar seluruh kaum mukminin mengetahui agama mereka, mampu menyebarkan pada seluruh umat manusia. Jadi bukan bertujuan supaya memperoleh kepemimpinan dan kedudukan yang tinggi serta mengungguli kebanyakan orang-orang lain, atau bertujuan memperoleh harta dan meniru orang dzalim dan para penindas dalam berpakaian, berkendaraan maupun dalam persaingan diantara sesama mereka.
            Ayat tersebut merupakan isyarat tentang wajibnya pendalaman agama dan bersedia mengajarkannya ditempat-tempat pemukiman serta memahamkan orang-orang lain kepada agama, sebanyak yang dapat memperbaiki keadaan mereka. Sehingga mereka tidak bodoh lagi tentang hukum-hukum agama secara umum yang wajib diketahui oleh setiap mu’min.
            Orang-orang yang beruntung, dirinya memperoleh kesempatan untuk mendalami agama dengan maksud seperti ini. Mereka mendapat kedudukan yang tinggi disisi Alloh SWT, dan tidak kalah tingginya dari kalangan pejuang yang mengorbankan harta dan jiwa dalam meninggikan kalimat Alloh SWT, membela agama dan ajaran-Nya. Bahkan, mereka boleh jadi lebih utama dari pejuang pada situasi lain ketika mempertahankan agama menjadi wajib ‘ain bagi setiap orang.[1]











BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Ayat ini menerangkan kelengkapan dari hukum-hukum yang menyangkut perjuangan, yaitu hukum mencari ilmu dan mendalami agama. Artinya bahwa pendalaman ilmu agama itu merupakan cara berjuang dengan menggunakan hujjah dan penyampaian bukti-bukti dan juga merupakan rukun terpenting dalam menyeru kepada iman dan menegakan sendi-sendi Islam. Karena perjuangan yang menggunakan pedang itu sendiri tidak di syari’atkan kecuali untuk jadi benteng dan pagar dari da’wah tersebut agar jangan dipermainkan oleh tangan-tangan ceroboh dari orang-orang kafir dan munafik.
B.     SARAN

Banyak sekali apa yang belum tertuliskan mengenai penafsiran ayat-ayat tersebut. Untuk itu penyusun mengharapkan kepada siapa saja yang membaca untuk lebih lagi secara mendalam mencari sumber-sumber atau kitab-kitab tafsir selain yang penyusun cantumkan. Mungkin akan berbeda antara kitab tafsir yang satu dengan yang lainnya.
Semoga makalah ini bermanfaat. Amiin.















DAFTAR PUSTAKA
Al-Maroghi, Ahmad Mustofa. 1993. Terjemah Tafsir Al-Maroghi. Semarang : PT Karya Toha Putra Semarang.



[1]Al-Maroghi, Ahmad Mustofa. Terjemah Tafsir Al-Maroghi, (Semarang : PT Karya Toha Putra Semarang, 1993), hlm. 83-87.